Kamis, 28 Juni 2007

epistemologi pendidikan islam inklusif

EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
DALAM KONTEKS MASYARAKAT MAJEMUK
Muqowim[1]

A. Pengantar
Dalam beberapa tahun terakhir bangsa Indonesia dilanda berbagai persoalan, baik bencana alam maupun problem sosial dan ekonomi yang tidak kunjung usai. Tidak heran jika sebagian orang menyebut sebagai tahun vivere pericoloso (tavip), meminjam bahasa Bung Karno, atau jaman kalabendu sebagaimana diramalkan oleh Joyoboyo dalam Serat Kalatida karya Ronggowarsito. Berbagai problem tersebut semakin kompleks dan rumit dengan munculnya problem disintegrasi bangsa yang ditandai dengan terjadinya berbagai kasus kerusuhan dan kekerasan masa yang lebih bernuansa SARA, terutama di Poso.[2] Jika tidak segera dicarikan jalan keluarnya, berbagai persoalan horisontal tersebut akan terekam dalam memori kolektif bangsa Indonesia yang pada akhirnya berpengaruh terhadap sikap dan perilaku masyarakat di masa mendatang.
Secara normatif, pada dasarnya tidak ada satu pun ajaran agama yang mendorong dan menganjurkan pengikutnya untuk melakukan tindak kekerasan (violence) dan kerusuhan (unrest) terhadap pengikut agama lain di luar kelompoknya, atau bahkan pemahaman dan penafsiran yang berbeda terhadap ajaran dalam satu agama.[3] Selain itu, secara budaya, ajaran agama juga mengajarkan umatnya untuk saling mengenal satu sama lain (ta’aruf) karena adanya perbedaan latar belakang budaya, bangsa, bahasa, dan jenis kelamin. Akan tetapi, secara empiris-historis-faktual, sesekali, untuk tidak mengatakan sering kali, dijumpai tindak kekerasan yang dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat dengan dalih agama.[4] Meminjam bahasa Paul Tillich, agama mempunyai Janus face, wajah Janus, nama dewa Yunani yang mempunyai dua wajah, di satu sisi berwajah humanis, membawa misi perdamaian, tapi di sisi lain agama berwajah demonik yang memicu terjadinya aksi kekerasan atas nama agama. Misi agama akan sangat dipengaruhi oleh kualitas pemahaman pemeluknya. Meskipun persoalan keindonesiaan dipengaruhi oleh banyak variabel, tetapi harus diakui bahwa faktor kelekatan agama berperan besar sebagai variabel yang mampu membangkitkan emosi masa.
Dikaitkan dengan pendidikan, seakan ada pembenar bahwa praktik pendidikan agama tidak cukup efektif membentuk peserta didik menjadi warga masyarakat yang humanis dan menampilkan wajah agama yang damai. Agaknya, dalam konteks ini sedikit banyak proses pendidikan mempunyai andil dalam membentuk mind-set komunitas yang cenderung monolitik dan kurang menghargai keragaman dalam beragama baik secara internal maupun eksternal. Lalu, praktik pendidikan seperti apa yang menjadikan pola berpikir peserta didik terjebak pada terjadinya konflik horisontal? Tidak ada jawaban yang pasti. Boleh jadi, problem pendidikan terletak pada isi bahan ajarnya, metodologi pembelajarannya, gurunya atau evaluasinya. Tapi yang jelas, tinjauan kritis terhadap praktik pendidikan mendesak dilakukan. Sebab, melalui proses pendidikan dalam arti luaslah, terjadi sosialisasi dan internalisasi nilai dan perspektif dari satu generasi ke generasi berikutnya.[5] Ketika sebuah generasi mewariskan nilai dengan cara yang keliru akan mempunyai dampak panjang (repercussion) terhadap pola perilaku generasi berikutnya. Karena itu, pola penanaman nilai keagamaan melalui proses pendidikan menjadi penting dilakukan.
Tulisan ini berusaha membahas tentang epistemologi pendidikan Islam di tengah tantangan masyarakat yang multikultural. Aspek epistemologi penting dikaji sebab dari sinilah konsep pendidikan Islam dibangun dan dikembangkan yang pada akhirnya dipraktikkan. Apa yang selama ini muncul dalam materi pelajaran di buku, strategi pembelajaran yang dipilih guru, serta evaluasi pendidikan merupakan cermin dari epistemologi pendidikan yang dimiliki praktisi pendidikan. Beberapa hal yang menjadi fokus kajian di sini adalah tentang otasi pendidikan Islam dan gejala pengerasan sikap keagamaan, epistemologi pendidikan Islam inklusif, dan implikasi epistemologi pendidikan dalam praktik pendidikan seperti aspek kurikulum, guru, dan strategi pembelajaran.

B. Pendidikan Profetik dan Pengerasan Sikap Keagamaan
Persoalan horisontal di Indonesia belakangan ini antara lain dapat dilacak dari orientasi pendidikan agama [Islam] yang dikembangkan oleh praktisi pendidikan. Pendidikan yang dimaksud di sini sebenarnya tidak terbatas pada proses pembelajaran di lembaga formal, namun juga di non-formal dan informal. Rumusan orientasi pendidikan tidak terlepas dari aliran filsafat yang dianut, sebab paradigma berpikir inilah yang menjadi inti munculnya berbagai produk kurikulum, pilihan strategi pembelajaran dan evaluasi yang dipilih. Jika seseorang berpegang pada aliran idealisme, tentu berbeda dengan pragmatisme dan rekonstruksionisme. Perbedaan ini terlihat dari cara pandangnya tentang tujuan pendidikan, sosok pendidik, strategi pembelajaran, dan evaluasinya.
Menghadapi berbagai macam orientasi tersebut, bagaimana sebenarnya formulasi yang tepat tentang orientasi pendidikan Islam dihadapkan pada problem kontemporer? Dalam hal ini, gagasan Kuntowijoyo tentang ilmu sosial profetik perlu dicermati, sebab tawaran ini bermula dari semangat al-Qur’an, khususnya surat Ali Imran (3): 110, yang artinya, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Menurutnya, paling tidak ada empat hal yang terkandung dalam ayat tersebut, yaitu konsep tentang umat terbaik, aktivisme sejarah, pentingnya kesadaran, dan etika profetik.[6]
Lebih jauh Kuntowijoyo menjelaskan, berdasarkan ayat di atas, ilmu sosial profetik mempunyai tiga unsur yang diderivasi dari terma amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minuna billah. Terma pertama, amar ma’ruf, identik dengan emansipasi. Dalam konteks sehari-hari amar ma’ruf dapat berupa kegiatan berdoa, berdzikir, shalat, menghormati orangtua, menyambung persaudaraan, dan menyantuni anak yatim.[7] Dalam konteks lebih luas terma ini dapat berupa mendirikan clean government, mengupayakan rekonsiliasi antar pihak yang bertikai, ketentuan jaminan sosial bagi karyawan atau buruh, menerapkan manajemen mutu terpadu (TQM), meningkatkan kesejahteraan guru, membuat kurikulum dinamis, sampai penanganan kasus lumpur di Sidoarjo. Terma kedua, nahi munkar, dartikan dengan liberasi, yaitu semangat membebaskan dari berbagai bentuk penyimpangan dan penindasan. Dalam bahasa sehari-hari, liberasi dapat berupa aktifitas mencegah tetangga dari mengkonsumsi putaw, melarang perbuatan selingkuh, memberantas judi togel, memberantas praktik jual beli gelar, memberantas pelanggaran hak cipta dan intelektual, pemberantasan korupsi, sampai memberantas pornoaksi (skandal seks) di kalangan elit politik (DPR). Dengan demikian, terma liberasi harus dikaitkan dengan kepentingan sosial.[8] Akhirnya, terma ketiga, tu’minuna billah, diartikan dengan transendensi, yaitu mendialogkan berbagai urusan dengan Tuhan. Bagi umat Islam, secara sederhana transendensi berarti iman kepada Allah, namun dalam konteks yang lebih luas, semua aktifitas kehidupan harus mempunyai rujukan yang jelas dari semangat ajaran Islam, baik dalam pengertian formal maupun substantif. Sebab, ketika muncul istilah back to the Qur’an and al-al-Hadith sebenarnya dapat ditangkap secara hermeneutis, tergantung ‘sang pembaca’ dan ‘teks’ yang dihadapi sehingga sangat mungkin akan muncul beragam penafsiran, namun sama-sama merujuk pada spiritualitas Islam.
Dikaitkan dengan gagasan tersebut, karakter emansipasi dan liberasi sangat sesuai dengan paradigma pendidikan Islam. Dalam pendidikan Islam karakter transendensi sangat penting, sebab semua aktifitas umat Islam harus diorientasikan pada semangat ketuhanan, bukan anti Tuhan.[9] Namun, dalam realitasnya karakter emansipasi dan liberasi tidak tampak dalam praktek pendidikan Islam, karena itu perlu ada shift of paradigm.[10] Padahal, Nabi Muhammad sendiri merupakan sosok yang sangat liberatif dan transformatif.
Dalam pandangan Iqbal, pendidikan Islam harus mampu mencetak individu yang dapat menyerap cakrawala, bukan orang yang larut dalam cakrawala. Iqbal menyebut yang kedua dengan orang yang mempunyai kesadaran mistik (mystical consciousness) sementara yang pertama dengan orang yang mempunyai kesadaran kenabian (prophetic consciousness). Dengan pengertian ini, produk pendidikan Islam mestinya dapat melahirkan tipe orang kedua, yang mampu menentukan arah perjalanan sejarah, bukan dipermainkan dan teromabng-ambing oleh sejarah. Untuk itu, pendidikan harus dapat menghasilkan individu yang berkesadaran kenabian atau raushan fikr, bukan berkesadaran mistik.[11] Tipe orang pertama selalu terlibat aktif dalam penyelesaian masalah (problem solver), bukan menjadi bagian dari masalah (part of the problem) atau menciptakan masalah (trouble maker).[12] Singkatnya, pendidikan harus dapat menciptakan kesalehan sosial atau fungsional, bukan kesalehan individual yang egois dan individualis.[13]
Dengan pengertian tersebut, di tengah berjibunnya problem kontemporer yang diderita umat Islam, mulai dari persoalan ekonomi, hukum, sosial, budaya, politik, dan moral, konsep dan praktek pendidikan [Islam] diharapkan dapat memberikan alternatif penyelesaian. Hanya saja, jika pendidikan Islam masih berjalan sebagaimana sekarang, maka sulit diharapkan perannya dalam penyelesaian masalah. Agama dan pendidikan harus didekati dengan perspektif kritis dimana keduanya merupakan inspirator munculnya transformasi individu dan masyarakat, dalam arti dapat mencetak individu yang aktif dalam pergumulan sosial dengan spiritualitas Islam serta membentuk masyarakat yang lebih baik. Semua aktifitas pendidikan senantiasa disinari oleh semangat ajaran Islam sebagai agama pembebas, sementara proses pendidikan sebagai upaya membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketertindasan.[14]
Dalam pandangan Islam, makna tauhid—sebagai inti ajaran Islam—mempunyai dampak sosial yang luar biasa, dalam arti bahwa tidak ada satu pun orang atau tatanan yang dijadikan sebagai rujukan atau tempat bergantung seseorang kecuali Tuhan sendiri. Dengan prinsip ini, semua aktifitas kehidupan diorientasikan pada pengabdian pada Tuhan, bukan untuk kepentingan materialis-hedonis duniawi. Karena itu, tauhidic paradigm[15] mestinya dapat membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan pengekangan unsur selain Tuhan. Hal ini dapat dilakukan melalui proses dan praktek pendidikan yang membebaskan.
Dengan pemaknaan tersebut, pendidikan Islam pada dasarnya merupakan proses transformasi individu menuju terbentuknya manusia yang berkesadaran kenabian. Sebab, figur konkret yang dijadikan model setiap muslim adalah Muhammad, sebagai individu tercerahkan yang mampu melakukan transformasi sosial di Jazirah Arab ketika itu. Upaya ‘meniru’ pola berpikir dan bertindak tidak sekedar dimaknai secara letterlijk, harfiah, namun harus hermeneutis-kontekstual, seperti mengikuti paradigma berpikir Nabi dalam penyelesaian problem empirik. Karena itu, Sunnah Nabi tidak diartikan sekedar secara literal, namun harus melalui pembacaan hermeneutis sesuai dengan konteks sosial yang dihadapi oleh ‘sang pembaca’. Dalam hal ini kerangka berpikir Rahman,[16] Arkoun,[17] Engineer,[18] maupun Esack perlu dikaji secara seksama, sebab relevan dengan kajian ini. Ketika tercipta manusia tercerahkan maka diharapkan terjadi proses transformasi sosial menuju masyarakat yang berkeadilan, setara, dan damai.
Terkait dengan misi kenabian, menurut Muthahari, secara garis besar ada dua misi utama dari seorang Nabi.[19] Pertama, mengajak umat manusia ke arah pengakuan terhadap Tuhan dan pendekatan diri kepada-Nya.[20] Kedua, menegakkan keadilan dan kesederajatan dalam masyarakat manusia.[21] Sementara itu, menurut al-Tabattaba’i diutusnya seorang rasul disertai dengan bukti yang berupa kitab dan mizan yang dengan itu mereka dapat menegakkan keadilan di antara umat manusia. Ini berarti bahwa para rasul datang untuk menyampaikan ajaran tauhid serta muamalah. Dengan demikian, misi seorang rasul mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi horizontal dan dimensi vertikal. Dimensi yang pertama berkaitan dengan aturan bagaimana melakukan muamalah antar sesama makhluk termasuk manusia. Dimensi ini diperlukan agar ketika manusia melakukan muamalah dengan sesamanya bisa berbuat adil, tidak saling merugikan antara satu dengan yang lain.[22] Hal ini harus diwujudkan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, budaya, sosial, ataupun relasi gender. Sedangkan dimensi yang kedua berkaitan dengan bagaimana berhubungan dengan Tuhan, yakni menyangkut persoalan ibadah.
Berkaitan dengan misi nabi sebagai seorang pembebas dari penyakit-penyakit sosial, Engineer menegaskan bahwa pengetahuan orang Islam tentang kondisi sosial, politik, relijius, budaya dan ekonomi adalah sebuah keharusan.[23] Sebab, gerakan pembebasan selalu berangkat dari pengetahuan dan kesadaran terhadap kondisi ini. Dikaitkan dengan konteks tersebut, Muhammad telah berhasil membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan keterbelakangan, seperti buta huruf, etnosentris, adanya Tuhan agen, subordinasi dan penindasan kaum perempuan, perbudakan, dan kesenjangan ekonomi. Hal-hal tersebut berhasil dibebaskan dan dihilangkan oleh Muhammad, sehingga kedatangan Islam betul-betul sebagai pembebas dari berbagai penyakit, baik penyakit rohani maupun sosial.
Mencermati sosok Muhammad sebagai pembebas di atas, maka proses pendidikan Islam harus mampu mencetak setiap peserta didik yang cerdas, kreatif, dan aktif membaca problem realitas di sekitarnya untuk kemudian memberikan alternatif pemecahan. Namun, pemberian alternatif ini harus diawali dengan pembacaan ala Hermes ketika menjembatani bahasa langit dan bahasa bumi dalam tradisi Yunani, sehingga yang muncul bukan anarki, tapi kearifan. Sebab, individu yang cerdas belum tentu arif dalam bertindak. Pendidikan Islam dituntut perannya dalam membentuk individu muslim yang penuh kearifan tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, orientasi pendidikan Islam pada dasarnya untuk mewujudkan misi profetik-kritis. Hal ini terlihat dari proses kreatif yang dilakukan Nabi sebagai hasil pembacaan terhadap problem realitas. Nabi aktif dalam penyelesaian problem di masyarakat, tidak mengejar kesalehan individual. Tradisi yang menurut masyarakat Arab sebagai sesuatu yang lumrah dan lazim dianggap oleh Nabi sebagai masalah, misalnya posisi kaum perempuan yang selalu mengalami diskriminasi. Menurut masyarakat Arab, hal ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar, sebab kaum perempuan secara fisik memang kurang dapat diandalkan untuk membela kepentingan sukunya. Namun, bagi Nabi, perlakuan semacam itu tidak manusiawi karena kedudukan manusia sama di hadapan Tuhan, yang membedakan hanya kualitas taqwa.[24] Hanya saja, proses kreatif Nabi dalam menyelesaikan problem sosial tersebut tidak banyak dipraktekkan oleh pemikir dan praktisi pendidikan mutakhir di Indonesia dalam membentuk peserta didik yang berkarakter emansipatif-liberatif-transendental.
Munculnya berbagai kasus kerusuhan dan kekerasan masa yang terjadi akhir-akhir ini merupakan cermin tidak adanya paradigma profetik dalam pendidikan Islam. Sebab, tidak ada kearifan dalam memecahkan persoalan, yang terjadi adalah pemaksaan kehendak dan kepentingan atas nama "tafsir agama". Hal ini terjadi karena adanya gejala pengerasan sikap keagamaan yang tidak diimbangi oleh sikap kritis-rasional-obyektif serta penghormatan terhadap keragaman pemahaman agama, baik secara internal umat beragama maupun eksternal antar agama. Pengerasan sikap keagamaan ini lebih diartikan pada pola perilaku beragama yang menganggap hasil pemahamannya sebagai yang paling benar dan menganggap pemahaman orang lain kurang benar, untuk tidak mengatakan salah. Gejala ini tidak hanya dijumpai pada sikap beragama pemeluk agama terhadap agama lain, namun juga terjadi pada pemeluk agama dalam satu agama. Kenyataan ini patut disayangkan mengingat terjadinya perbedaan tingkat relijiusitas seseorang pada dasarnya merupakan sesuatu hal yang wajar. Sebab, being religious process ini sangat ditentukan oleh perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki oleh setiap orang serta setting sosial yang dihadapinya.
Gejala truth claim dan pengerasan sikap keagamaan tersebut tidak perlu terjadi ketika ada kesadaran bersama bahwa sebaik apa pun hasil pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh setiap orang dalam beragama adalah bersifat dzanny, relatif, yang sama-sama menuju kepada kebenaran yang absolut, Tuhan itu sendiri. Menurut Amin Abdullah, kajian Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni Islam normatif dan Islam historis.[25] Yang pertama lebih berarti Islam das Sollen, Islam yang seharusnya dan lebih melihat Islam sebagai doktrin wahyu, sedangkan yang kedua mengacu pada Islam das Sein, yakni Islam pada kenyataannya yang dapat dilihat dalam konteks menyejarah. Gagasan Amin ini senada dengan apa yang dilontarkan oleh Bernard Lewis tentang Islam Ideal yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad saw dan Islam historis yang sudah menyejarah dan empirik.[26]
Pendapat Amin tentang Islam historis dapat dikelompokkan menjadi dua konsep tradisi, yakni tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition) yang diintrodusir oleh seorang antropolog Amerika R. Redfield,[27] yang kemudian banyak digunakan oleh para antropolog dalam studi mereka terhadap masyarakat beragama di berbagai negara di Asia, Afrika dan di Amerika sendiri. Kajian Geerts dalam The Religion of Java[28] yang kemudian menjadi masterpiece-nya juga menggunakan kerangka konsep great tradition dan little tradition ini. Yang pertama merupakan tradisi dari mereka yang suka berpikir dan dengan sendirinya mencakup jumlah orang yang relatif sedikit (the reflective few), sedangkan yang kedua sebagai tradisi dari sebagian besar orang yang tidak pernah memikirkan secara mendalam tradisi yang mereka miliki.[29] Tradisi dari para filosof, ulama, dan kaum terpelajar adalah tradisi yang ditanamkan dan diwariskan dengan penuh kesadaran, sementara tradisi orang kebanyakan adalah tradisi yang sebagian diterima dari pendahulu dengan apa adanya (taken for granted) dan tidak pernah diteliti atau disaring pengembangannya.
Sebagaimana Redfield, sebagai gejala budaya Islam juga menjadi perhatian Von Grunebaum. Dua jenis tradisi yang dikemukakan Redfield di atas mirip dengan konsep the Islamic high culture dan the Islamic local culture yang dikemukakan oleh Grunebaum. Yang pertama menggambarkan adanya kesatuan ajaran dalam Islam, sedangkan yang kedua justeru menggambarkan adanya keragaman Islam yang tercermin melalui budaya lokal.[30] Istilah yang digunakan Grunebaum ini mengingatkan pada terma yang digunakan oleh pemikir sosial asal Perancis, Ernest Gellner tentang Islam rendah (low Islam) dan Islam tinggi (high Islam).[31] Bahwa yang pertama lebih bersifat universal, sedangkan yang kedua bersifat partikular. Istilah low Islam bukan berarti merendahkan Islam yang dianut oleh lapisan bawah kaum Muslim. Hal itu hanya berkaitan dengan bentuk ekspresi kebudayaan dari umat Islam.
Beberapa cara pandang terhadap Islam dari para tokoh di atas hanya untuk menggambarkan betapa banyak corak keislaman umat Islam ketika ajaran Islam yang terkandung di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dipahami para pemeluknya. Keragaman ini muncul karena beragamnya cara pandang atau perspektif yang digunakan. Hal ini sangat tergantung pada locus dan tempus masing-masing pemeluk. Bila dicermati, sebenarnya munculnya fenomena keragaman dalam keberagamaan ini lebih pada dataran historis, yakni ketika Islam normatif dipahami umatnya menurut kultur masing-masing. Pengertian kultur ini mengacu pada academic background yang mencakup pengetahuan (knowledge) dan pengalaman (experience) yang dimiliki dan social and cultural setting dari umat Islam.
Untuk memahami ajaran Islam, umat Islam menjadikan al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai rujukan utama. Yang menjadi persoalan adalah ketika muncul pandangan sebagian orang, bahwa tafsir tentang kedua sumber tersebut sebagai yang paling benar dan mengabaikan tafsir orang lain. Padahal, berbagai macam tafsir al-Qur’an muncul dalam rangka menangkap kesempurnaan ajaran Islam tersebut. Manusia, sebagai makhluk yang tidak sempurna tentu tidak akan mampu menangkap sepenuhnya kesempurnaan ajaran Tuhan. Di siniliah justru letak esensi dari beragama, yakni ada dinamika, ada pencarian yang terus-menerus (on going quest), dan proses menjadi yang tanpa batas (timeless process of becoming). Makna dari semua ini adalah bahwa keragaman pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam adalah sebuah keniscayaan (unavoidable) yang tidak mungkin dihindari. Keragaman ini muncul karena sangat bergantung pada pemahaman dan pengalaman yang dimiliki tentang agama Islam. Karena itu, hal tersebut harus disikapi dan disadari oleh setiap umat Islam; bahwa pemahaman dan penafsiran yang berbeda terhadap ajaran agama Islam harus dilihat sebagai rahmat Allah yang perlu disyukuri dengan cara saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
Kasus pemahaman terhadap ajaran agama secara internal di atas dapat dianalogkan dengan pemahaman seseorang terhadap keragaman agama dan budaya yang terjadi dalam masyarakat. Bahwa berbagai kasus kekerasan bernuansa agama dan etnis lebih dikarenakan oleh kurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap ajaran agama dan budaya lain. Tidak adanya penghormatan dan penghargaan terhadap pihak lain ini lebih disebabkan oleh tidak adanya pengetahuan yang dimiliki dan belum adanya upaya untuk lebih mengenal tentang pihak lain tersebut. Karena itu, setiap anggota masyarakat seharusnya sadar bahwa perbedaan dalam hal apa pun, baik dari segi agama, bahasa, etnis, warna kulit, dan sebagainya, merupakan sunnatullah yang perlu dikelola dengan baik. Berkaitan dengan problem yang muncul dari perbedaan cara pandang atau perspektif baik dalam hal agama atau etnis itulah, maka peninjauan ulang terhadap pola pendidikan yang selama ini dipahami dan dilakukan perlu diberikan.

C. Epistemologi Pendidikan Islam
Praktik pendidikan Islam yang selama ini berjalan tidak terlepas dari kerangka epistemologi yang dimiliki para praktisi pendidikan. Sebab, dari model berpikir inilah konstruk pengetahuan dibangun dan disebarluaskan kepada peserta didik. Sebagai ilustrasi, ketika seseorang berpandangan bahwa ilmu pendidikan Islam hanya bersumber dari teks (agama), maka yang diajarkan kepada peserta didik sebatas yang ada dalam buku, tidak ada upaya mendialogkan dengan realitas. Sebaliknya, ketika seseorang berpandangan bahwa yang menjadi sumber pengetahuan hanya realitas, maka dia akan bertumpu pada problem riil saja. Lalu, dihadapkan pada berbagai persoalan di atas, epistemologi seperti apa yang tepat untuk mengembangkan pendidikan Islam. Tulisan ini tidak berpretensi memberikan jawaban secara komprehensif, namun sebagai ikhtiar membangun kerangka epistemologi pendidikan Islam yang dapat memberikan alternatif pemecahan mutakhir pendidikan.
Dalam hal ini pandangan Muhammad 'Abid al-Jabiri tentang tiga kerangka epistemologi pemikiran Islam dapat dijadikan sebagai inspirasi, yaitu bayani, burhani, dan 'irfani. Bayani (explanatory), secara etimologis, mempunyai pengertian penjelasan, pernyataan, dan ketetapan.[32] Sedangkan secara terminologis, bayani berarti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma`, dan ijtihad.[33] Dalam pandangan al-Jabiri, secara historis sistem epistemologi bayani merupakan sistem epistemologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab. Epistemologi ini dominan dalam bidang keilmuan pokok seperti filologi, yurisprudensi, ilmu hukum (fikih), ulum al-Qur'an (interpretasi, hermeneutika, dan eksegesis), teologi dialektis (kalam) dan teori sastra nonfilosofis. Sistem ini muncul sebagai kombinasi dari pelbagai aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting discourse), sekaligus menentukan pelbagai prasyarat bagi pembentukan wacana.[34] Konsepsi dasar dari sistem ini berupaya mengkombinasikan pelbagai metode fikih, yang dikembangkan al-Syafi'i, dengan berbagai metode retorika, yang dikembangkan oleh al-Jaiz. Konsepsi tersebut terpusat pada relasi antara ujaran dan makna, di samping tambahan prasyarat yang dilontarkan oleh fuqaha dan teolog mutakhir, yaitu mengenai kepastian, analogi, materi subyek dari laporan, dan pelbagai tingkat otentisitas.
Berbagai upaya di atas pada akhirnya menghasilkan sebuah teori pengetahuan bayani dalam semua tingkat pengetahuan. Pada level logika internal, teori pengetahuan tersebut diarahkan oleh konsep indikasi, yang berpengaruh pada gaya bahasa puitik, pengungkapan, pemahaman, komunikasi, serta reseptifitas. Demikian juga pada level materi pengetahuan, yang tersusun dari al-Qur'an, hadis, gramatika, fikih, puisi serta prosa Arab, begitu juga pada level ideologis, sebab kekuatan otoritatif yang menentukan di balik pelbagai tingkatan ini adalah dogma Islam. Dengan demikian, berarti bahwa sejak semula telah berlaku larangan untuk menyamakan antara pengetahuan dengan keimanan kepada Allah. Pada level epistemologis, manusia dianggap sebagai makhluk yang diberkati dengan kapasitas bayani-nya, berdasarkan nalar bawaan dan nalar yang diperoleh. Nalar bawaan sebagai pemberian Allah, sementara nalar yang diperoleh dari proses pembentukan adalah tindak lanjut dari proses perenungan yang ditentukan oleh otentisitas transmisi.
Menurut al-Jabiry sumber epistemologi bayani adalah nas atau teks. Dengan kata lain, corak berpikir ini lebih mengandalkan pada otoritas teks, tidak hanya teks wahyu namun juga hasil pemikiran keagamaan yang ditulis oleh para ulama terdahulu. Pendekatan yang digunakan dalam nalar bayani ini adalah lughawiyah.[35] Pola berpikir bayani ini berlaku untuk disiplin ilmu seperti fikih, studi gramatika, filologi, dan kalam. Beberapa prinsip yang dipegangi dalam corak bayani adalah infisal (diskontinu) atau atomistik, tajwiz (tidak ada hukum kausalitas), dan muqarabah (keserupaan atau kedekatan dengan teks).
Kerangka berpikir yang diterapkan dalam disiplin ilmu di atas cenderung deduktif, yaitu berpangkal dari teks. Dalam keilmuan fikih menggunakan qiyas al-'illah sementara dalam disiplin kalam menggunakan qiyas al-dalalah. Selain itu, corak berpikir bayani cenderung mengeluarkan makna yang bertolak dari lafadz, baik yang bersifat 'am, khas, mushtarak, haqiqah, majaz, muhkam, mufassar, zahir, khafi, mushkil, mujmal, dan mutashabih. Metode pengembangan corak berpikir ini adalah dengan cara ijtihadiyah dan qiyas. Yang termasuk proses berpikir ijtihadiyah adalah istinbatiyah, istintajiyah, dan istidlaliyah, sementara yang dimaksud qiyas adalah qiyas al-ghayb 'ala al-ghayb.
Dalam model berpikir bayani, akal berfungsi sebagai pengekang atau pengatur hawa nafsu. Akal cenderung menjalankan fungsi justifikatif, repetitif, dan taqlidy. Otoritas ada pada teks, sehingga hasil pemikiran apa pun tidak boleh bertentangan dengan teks. Karena itu, dalam penalaran ini jenis argumen yang dibuat lebih bersifat dialektik (jadaliyah) dan al-'uqul al-mutanasifah, sehingga cenderung defensif, apologetik, polemik, dan dogmatik. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh pola berpikir logika Stoia, bukan logika Aristoteles. Yang dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran ilmu model bayani adalah adanya keserupaan atau kedekatan antara teks atau nas dengan realitas.
Dari tiga rumpun keilmuan menurut al-Jabiri, yakni bayani, burhani, dan irfani, agaknya yang pertama yang mendominasi dalam tradisi keilmuan di lingkungan lembaga pendidikan Islam. Sebab, ada kecenderungan dijadikannya hasil pemikiran keagamaan yang ada di berbagai karya para fuqaha dan mutakallim sebagai pijakan utama, bahkan ada keengganan untuk tidak beranjak dari produk keilmuan tersebut sehingga cenderung kurang mampu menjawab dan memberikan alternatif pemecahan terhadap berbagai persoalan kontemporer.
Padahal, menurut Amin Abdullah ada kelemahan mencolok dari nalar epistemologi bayani, yaitu ketika ia harus berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa atau masyarakat yang beragama lain. Biasanya, corak berpikir ini cenderung mengambil sikap mental yan bersifat dogmatik, defensif, apologetis, dan polemis dengan semboyan kurang lebih "right or wrong is my country."[36] Hal ini terjadi karena fungsi akal hanya untuk mengukuhkan dan membenarkan otoritas teks. Padahal, dalam realitasnya, seringkali terjadi ada jurang antara yang terdapat dalam teks dengan pelaksanaannya, sebab akan sangat bergantung pada kualitas pemikiran, pengalaman dan lingkungan sosial tempat teks tersebut dipahami dan ditafsirkan. Belum lagi jika hasil pemahaman terhadap teks tersebut dikaitkan dengan pihak lain, baik dari aspek aliran, kelompok, dan kultur lain maka akan menunjukkan kerumitan tersendiri yang tidak dapat diselesaikan sekedar hitam putih karena menyangkut kecenderungan, visi, dan misi yang berbeda meskipun sama-sama bertolak dari teks yang sama.
Sementara itu, jika sumber pengetahuan dalam nalar bayani adalah teks, maka suumber pengetahuan dalam nalar burhani adalah realitas (al-waqi') baik dari alam, sosial, dan humanities. Karena itu, lebih sering disebut sebagai al-'ilm al-husuli. Yaitu, ilmu yang dikonsep, disusun dan disistematisasikan lewat premis-premis logika atau al-mantiq, bukannya lewat otoritas teks atau intuisi. Premis ini disusun lewat kerja sama antara proses abstraksi dan pengamatan inderawi yang sahih atau dengan menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan indera seperti alat-alat laboratorium, proses penelitian lapangan dan penelitian literer mendalam. Peran akal dalam nalar burhani sangat besar sebab ia diarahkan untuk mencari sebab akibat.
Menurut Amin Abdullah, untuk mencari sebab musabab yang terjadi pada peristiwa alam, sosial, kemanusiaan dan keagamaan, maka akal pikiran tidak memerlukan teks-teks keagamaan. Untuk memahami realitas sosial keagamaan akan lebih tepat jika menggunakan pendekatan semacam antropologi, sosiologi, kebudayan, dan sejarah. Fungsi akan lebih pada analisa dan menguji secara terus-menerus kesimpulan-kesimpulan sementara dan teori yang dirumuskan lewat premis-premis logika keilmuan. Fungsi akan yang lebih bersifat heuristik ini dengan sendirinya akan membentuk budaya kerja penelitian, baik yang bersifat eksplanatif, eksploratif atau verifikatif.
Pendekatan dalam nalar ini adalah filosofis dan saintifik. Nalar ini lebih menekankan pada pemberian argumen dalam mencermati berbagai fenomena empirik sekaligus memberikan alternatif pemecahan. Fenomena sosial dan alam tidak sekedar diterima sebagai hukum sunnatullah yang tiada makna, namun ia menuntut kreatifitas manusia untuk merenungkan tentang tujuan ia diciptakan dan apa manfaat yang dapat diambil oleh manusia. Karena itu, diperlukan pemikir yang berteologi qadariyah dengan pandangannya yang bebas, kreatif dan bertanggung jawab, bukan teologi jabariyah yang berpandangan bahwa manusia ibarat wayang yang cenderung kurang aktif memikirkan fenomena alam.
Bertolak dari uraian di atas, maka diperlukan orang yang bernalar kritis, bukan nalar komunal. Di antara ciri orang dengan nalar kritis adalah dia mempunyai kesadaran tentang problem yang ada di sekitarnya dan aktif mencari dan memberikan alternatif pemecahan. Dalam pandangan Iqbal, orang semacam ini disebut mempunyai kesadaran kenabian, bukan kesadaran mistik, sebagaimana disinggung sebelumnya. Kesadaran kenabian antara lain ditandai oleh kemampuannya membaca problem realitas dan memberikan alternatif pemecahan tetapi tetap dalam eksistensinya sebagai makhluk Tuhan. Selain nalar kritis, epistemologi burhani juga menuntut orang untuk mampu membuat abstraksi dari berbagai fenomena yang dibaca. Apa yang tampak dalam realitas, menurutnya, tidak sekedar dilihat dari yang ada di permukaan, namun ada nomena yang perlu dicermati.
Dengan demikian, jenis argumen yang ada dalam nalar burhani adalah demonstratif, baik secara eksploratif, verifikatif, dan eksplanatif. Dalam nalar ini, lebih banyak dituntut untuk menunjukkan bukti dan penjelasan tentang suatu pemahaman atau fenomena. Nalar ini dipenuhi dengan argumen yang bersifat pembuktian, deskripsi dan elaborasi tentang sesuatu.
Nalar ini berpangkal dari beberapa prinsip dasar yang digunakan, yaitu idrak al-sabab (nizam al-sababiyah al-thabit), prinsip kausalitas; al-hatmiyah (kepastian, certainty); al-mutabaqah bayn al-'aql wa al-nizam al-tabi'ah. Prinsip-prinsip tersebut berpandangan bahwa apa yang terjadi dalam realitas empirik dan fenomena alam pada dasarnya berlaku hukum sebab akibat. Karena itu, untuk memahaminya diperlukan upaya untuk mencari akar penyebab dengan mengkaji penyebab dan akibat sekaligus, akibat yang sama belum tentu penyebabnya sama. Sebaliknya, sebab yang sama belum tentu mempunyai akibat yang sama.
Dalam konteks pendidikan, nalar burhani sangat diperlukan. Sebab, obyek pendidikan adalah manusia dengan berbagai tantangannya. Ketika konsep tentang manusia berubah, maka model pendidikan juga harus diubah. Begitu juga, ketika persoalan yang dihadapi manusia berubah, maka format dan praktik pendidikan juga perlu disesuaikan jika tidak ingin ketinggalan. Kurang berkembangnya pemikiran pendidikan Islam antara lain disebabkan oleh tidak adanya nalar burhani. Pendidikan Islam terjebak pada orientasi melangit yang kurang kontekstual dan aktif memberikan alternatif pemecahan sosial. Tidak heran jika tidak muncul teori-teori pendidikan Islam dari para pemikir pendidikan. Terlebih jika dikaitkan dengan problem masyarakat yang majemuk, pendidikan Islam seakan gagap memberikan alternatif pemecahan yang transformatif sebagaimana diuraikan di atas. Praktisi pendidikan relatif sibuk mencari argumen pembenar berdasarkan teks (keagamaan) dan cenderung defensif, bukan transformatif sebagaimana dicontohkan Nabi.
Sementara itu, kerangka ketiga berpikir yang ditawarkan al-Jabiri adalah 'irfani. Yang menjadi sumber pengetahuan dalam 'irfani adalah pengalaman (experience), yaitu al-ru'yah al-mubashirah, direct experience, al-'ilm al-khuduri, preverbal knowledge. Yang menjadi dasar dari sistem epistemologi irfani adalah adanya prinsip dikotomi antara zahir dengan batin. Batin mempunyai status lebih tinggi dalam hirarki pengetahuan model epistemologi ini. Dalam nalar irfani dan bayani sama-sama ada analogi, namun keduanya berbeda. Analogi dalam nalar irfani didasarkan atas penyerupaan, ia tidak terikat oleh aturan, serta dapat menghasilkan jumlah bentuk yang tidak terbatas, sementara dalam nalar bayani didasarkan pada penyerupaan langsung.
Analogi dalam nalar irfani dapat mengambil bentuk kiasan (tamsil) atau metafor. Al-Jabiri menyatakan bahwa ada tiga tipe analogi dalam epistemologi irfani. Pertama, penyerupaan yang didasarkan pada korespondensi numeris. Kedua, penyerupaan didasarkan pada suatu representasi. Ketiga, penyerupaan retoris dan puitis. Dia memandang bahwa sistem epistemologi ini telah menjadi sistem produktif dalam bidang keilmuan sastra dan seni.
Cara memperoleh nalar ini menurut al-Jabiri adalah dengan al-dhawqiyah (al-tajribah al-batiniyah) dan al-riyadah, al-mujahadah, al-kashfiyah, al-ishraqiyah, al-laduniyah, penghayatan batin/tasawuf. Karena itu, pendekatan yang digunakan dalam nalar ini adalah psiko-gnosis, intuitif, dhawq, al-la 'aqlaniyah.
Dalam epistemologi ini fungsi akal adalah partisipatif, al-hads wa al-wijdan, bila hijab. Nalar ini lebih menekankan pada pengalaman langsung, sehingga yang lebih banyak terlibat adalah rasa. Sebagai contoh, untuk memahami orang yang sakit gigi tidak bisa hanya mengetahui tentang ciri-ciri penyakit gigi dalam buku, namun harus mendasarkan langsung pada orang yang pernah menderita penyakit ini, kalau perlu yang bersangkutan pernah mengalaminya, sehingga gambaran yang dimunculkan lebih sahih meskipin kondisi antara satu orang dengan yang lain kadang berbeda-beda.
Kerangka teori yang digunakan dalam nalar ini mulai dari yang zahir ke batin, tanzil dan ta'wil, nubuwwah dan wilayah, dan haqiqi dan majazi. Dibandingkan dengan nalar bayani, nalar 'irfani lebih bebas dalam memahami yang tersurat. Imajinasi ranah ini lebih luas dan membuka berbagai kemungkinan secara bebas. Karena itu, hasil dari nalar ini adalah kreatifitas dalam pencarian makna sebagai hasil berimajinasi yang kadang hasilnya bertolak belakang dengan hasil nalar bayani. Karena itu, kadang terjadi benturan antara hasil pemahaman bayani dan irfani.
Kalau yang menjadi tolok ukur nalar bayani adalah kesesuaian dengan teks, maka dalam nalar 'irfani yang menjadi tolok ukur adalah memahami perasaan orang lain, simpati, empati. Keputusan tidak didasarkan pada yang tersurat atau formalitas, namun lebih pada yang tersirat dan apa yang dirasakan pihak lain. Karenanya, dalam nalar ini tidak muncul judgment secara satu arah. Kesimpulan hanya muncul setelah mendengar pemahaman dan perasaan pihak lain.
Dalam studi Islam keilmuan yang termasuk dalam kategori ini adalah tasawuf dan akhlak. Konsep tentang Tuhan misalnya, tidak sekedar didasarkan ada dasar tekstual dalam nas, namun apa yang dirasakan oleh seorang hamba ketika berhadapan dengan Tuhan. Konsep mendekatkan diri terhadap Tuhan sangat berbeda dengan nalar bayani. Jika dalam bayani mendekatkan diri pada Tuhan lebih didasarkan pada ukuran formal fiqhiyah, sementara pada nalar 'irfani lebih pada upaya mendekatkan diri secara spiritual dan mental dengan Tuhan, sehingga ukurannya cenderung subyektif meskipun tanpa meninggalkan ajaran formal, namun yang lebih ditekankan adalah aspek esoterik.
Dalam pendidikan Islam di mana makna ajaran Islam cenderung dimaknai secara formal-keilmuan, maka menurut nalar ini, pendidikan berjalan terlalu kering. Sebab, ajaran Islam ibarat hanya berisi tumpukan dogma yang kaku dan cenderung formalis. Kadang pemahaman formalis menyebabkan terjadinya klaim-klaim kebenaran antara satu pihak dengan pihak lain karena menganggap pijakannya paling jelas dan menganggap pihak lain tidak jelas sumbernya.
Dalam pandangan Amin Abdullah ketiga nalar keilmuan di atas tidak dapat berdiri sendiri (isolated entities), namun harus saling berhubungan antara satu nalar dengan yang lain. Dalam diri seseorang harus ada ketiga nalar tersebut sehingga ketika mencermati dan menghadapi sebuah persoalan tidak dipahami secara sepihak dan satu alur, namun dilihat secara komprehensif, baik dari aspek formal, makna, dan penyebab terjadinya hal tersebut. Sebaiknya, pemahaman secara adhoc dan fragmental dihindari sebab akan berakibat pada solusi yang dimunculkan juga akan cenderung kurang lengkap dan parsial.
Begitu juga dengan pendidikan Islam, kerangka epistemologi yang dikembangkan harus memadukan dan mensinergikan ketiga jenis tersebut. Dominannya nalar bayani dalam pendidikan Islam harus diimbangi oleh nalar burhani yang secara kritis dan pro-aktif mencari alternatif pemecahan terhadap berbagai persoalan kontemporer. Dengan nalar burhani, maka akan diketahui apakah praktik pendidikan Islam selama ini sudah efektif dan produktif dalam melakukan transformasi individual dan sosial atau belum. Jika belum, maka perlu ada kajian kritis tentang konsep-konsep pendidikan Islam yang selama ini diterima begitu saja, misalnya konsep tentang peserta didik, konsep tentang pendidik, konsep pembelajaran, konsep kurikulum, konsep evaluasi, dan seterusnya. Pada akhirnya, jika nalar bayani dan burhani berkembang, maka solusi yang ditawarkan melalui proses pendidikan Islam akan selalu aktual, kontekstual, tapi tetap transendental. Untuk itulah, nalar 'irfani juga harus disinergikan dalam praktik pendidikan. Sebab, dalam bahasa Bloom, 'nalar 'irfani analog dengan ranah afektif yang mengembangkan aspek empati dan simpati. Jika hal ini dikembangkan, maka akan muncul banyak kearifan dalam praktik pendidikan. Berbagai perbedaan dalam pemahaman dan penafsiran agama tidak akan menimbulkan prasangka, apalagi konflik, karena ranah afektif (nalar 'irfani) dikembangkan.

D. Implikasi pada Praktik Pendidikan Islam
Bertolak dari kerangka epistemologi yang ditawarkan sebelumnya, yang memadukan nalar bayani, burhani, dan 'irfani, maka praktik pendidikan perlu ada penyesuaian. Sebab, selama ini tujuan pendidikan Islam cenderung normatif.[37] Sebab, dalam realitasnya, pendidikan Islam cenderung ‘idealis’ dan kurang bersentuhan dengan problem realitas-empirik. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya anggapan bahwa segala aktifitas hidup umat Islam, termasuk pendidikan, harus didasarkan pada wahyu yang given dari Tuhan dalam pengertian harfiah sehingga cenderung kurang melihat aspek realitas yang empirik. Karena itu, wajar jika formulasi tentang konsep pendidikan Islam relatif idealis dan kurang ‘membumi’, kurang bersentuhan dengan problem realitas. Padahal, sosok Nabi sendiri yang dijadikan sebagai model bagi pendidikan Islam jelas-jelas terlibat langsung dalam penyelesaian problem di masyarakat.
Karena itu, jika kerangka epistemologi di atas diterima, maka yang perlu dipikirkan adalah tindak lanjut secara praktis, mulai dari perumusan orientasi pendidikan Islam, pembaharuan kurikulum, penyiapan sumber daya manusia, diversifikasi strategi pembelajaran, perubahan model evaluasi, evaluasi kebijakan, dan perubahan manajemen di lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Berbagai komponen ini perlu dikaji secara terpadu, simultan, dan komprehensif. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab praktisi pendidikan Islam saja, namun semua stakeholder pendidikan harus dilibatkan, mulai dari tenaga kependidikan di lembaga pendidikan formal, peserta didik, alumni, pengguna alumni, orang tua, tokoh masyarakat, kalangan LSM, akademisi, dan pejabat pemerintah terkait. Sebab, proses pendidikan tidak dapat berjalan secara linear dan monolitik, namun secara sirkular dan melibatkan banyak komponen.
Dalam hal orientasi, pendidikan Islam seharusnya tidak sekedar membentuk kesalehan individual semata, atau kesadaran mistik dalam perspektif Iqbal, namun harus membentuk kesalehan sosial juga. Sebagaimana disinyalir Iqbal pada awal abad ke-20 dan hingga sekarang masih terasa, umat Islam di dunia Timur cenderung mengedepankan kesadaran mistik dan kesalehan individual yang diibaratkan dengan larut dengan tasbih, yang penting selamat di akhirat, sementara problem sekitar tidak begitu dipikirkan.[38] Untuk itu, orientasi pendidikan harus diarahkan untuk membentuk individu muslim yang mempunyai kesadaran kenabian dengan karakter emansipatif, liberatif dan transendental yang mampu membaca problem empirik di sekitarnya sehingga ia mampu terlibat dalam penyelesaian problem. Tetapi, di sisi lain, dia juga mampu menyelesaikan setiap problem yang menimpanya.
Perubahan orientasi perlu segera diimbangi dengan perubahan kurikulum yang akan dibekalkan kepada setiap peserta didik. Sebagaimana dirumuskan oleh al-Attas, bahwa kurikulum pendidikan Islam dikonstruk berdasarkan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, namun harus didialogkan dengan problem realitas sehingga muatannya dinamis sesuai dengan konteks waktu dan tempat.[39] Dalam pengertian ini, sebenarnya perubahan kurikulum dapat dilakukan kapan saja, tanpa menunggu jangka waktu tertentu. Sebab, ketika problem dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat berbeda dan berubah, maka harus diikuti oleh perubahan kurikulum jika tidak ingin tertinggal dengan perubahan. Muatan kurikulum harus mencerminkan adanya dialog antara teks dan konteks, antara wilayah normatif dan historis. Karena itu, akan selalu ada upaya kontekstualisasi teks sehingga mampu menjawab problem bumi. Dalam pandangan Freire, akan selalu ada proses kodifikasi konteks dan dekodifikasi. Kodifikasi konteks berarti mendialogkan, mendiskusikan dan mencari alternatif pemecahan terhadap problem yang berkembang di masyarakat ke dalam ruang ruang kelas, misalnya kemiskinan, pelecehan seksual, pengangguran, dan pelanggaran HAM.[40] Hasil rumusan alternatif ini kemudian dibawa ke masyarakat sebagai sebuah tawaran pemecahan. Dengan demikian, ada proses refleksi di ruang kelas dan proses aksi di luar kelas secara terus-menerus. Ketika problem yang ada di masyarakat berkembang, maka perlu ada kodifikasi kembali dan begitu seterusnya.
Berbagai pesoalan mutakhir harus dikaji secara hermeneutis, dengan selalu mendialogkan ide moral al-Qur'an dan al-Sunnah dengan problem empirik. Hal demikian hanya dapat dilakukan jika umat Islam melakukan kritik sejarah terhadap diturunkannya kitab tersebut. Untuk itu, Rahman menawarkan double movement methodology untuk dapat menangkap ide moral al-Qur’an.[41] Dalam pandangannya, sejak dulu sampai akhir zaman, teks al-Qur’an tetap, namun formulasi untuk pembumiannya dinamis tergantung problem yang berkembang di masyarakat. Selama ini umat Islam cenderung ke arah antiquarianisme dan romantisme dalam memandang sejarahnya.
Berdasarkan pemikiran tersebut, kurikulum dalam pendidikan Islam yang akan diajarkan, mengharuskan ada perpaduan secara dinamis-dialektis antara teks dan konteks. Untuk itu, pendekatan contextual teaching and learning perlu diterapkan, artinya setiap materi yang disampaikan oleh pendidik harus bermakna bagi peserta didik. Apa yang dipelajari di dalam kelas harus selalu dikaitkan dengan problem dan konteks keseharian yang dihadapi peserta didik. Sebagai contoh, ketika berbicara tentang kerusakan lingkungan, harus ada dialog antara teks al-Qur’an dengan problem lingkungan yang ada di sekitar sekolah yang bersangkutan. Jika sekolah itu bertempat di Kalimantan, maka perlu dikaitkan dengan kasus illegal logging atau pembakaran hutan. Kasus ini tidak pas jika diterapkan untuk sekolah yang ada di Yogyakarta, sebab tidak ada hutan di daerah ini, kalaupun ada hanya sedikit. Untuk konteks Yogyakarta, kasus yang tepat adalah kasus penambangan pasir di Sungai Progo atau di lereng Gunung Merapi. Karena itu, dalam kurikulum ini harus lebih banyak memasukkan problem dan kearifan lokal.
Perubahan orientasi dan kurikulum tersebut harus diimbangi dan dibarengi dengan penyiapan sumber daya manusia yang mampu mengimplementasikan orientasi dan kurikulum itu dalam konteks praxis. Dalam sebuah adagium Arab dikenal al-mudarris ahammu min al-maddah wa al-tariqah. Sebaik apa pun materi dan strategi pembelajaran, jika tidak dipahami oleh pendidik, maka tidak akan berjalan secara maksimal. Untuk itu, perubahan mindset di kalangan praktisi pendidikan perlu dilakukan segera. Yang menjadi masalah adalah bahwa merubah kultur berpikir tidak semudah merubah struktur. Jika perubahan struktur dapat dilakukan dalam hitungan hari bahkan jam, maka perubahan kultur [berpikir] memerlukan waktu cukup lama, tidak hanya tahunan bahkan generasi. Tidak mengherankan jika dalam kenyataan telah terjadi perubahan struktur [pemerintahan, pengelola lembaga pendidikan dan kurikulum], namun belum ada perubahan kultur. Sebab, orang yang menjalankan struktur baru tersebut masih sama dengan kultur lama.
Dalam pendidikan Islam, sumber daya manusia pertama yang harus dibenahi adalah pendidik. Ini tidak berarti komponen pendidikan lain tidak perlu dibenahi. Namun, para pendidiklah yang menjadi ujung tombak (avant garde) terjadinya perubahan. Sebab, mereka yang selalu terlibat langsung dengan peserta didik dan yang mengimplementasikan kurikulum. Ini berarti, berhasil tidaknya sebuah rumusan dan konsep kurikulum dalam konteks praktis sangat ditentukan oleh faktor pendidik. Semakin berkualitas pendidik, semakin berhasil dalam membawa perubahan.
Dikaitkan dengan implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sosok pendidik sangat diharapkan untuk keberhasilan kurikulum baru tersebut. Sebab, dalam pengelolaan kurikulum yang berujung pada penjabaran silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran dari rumusan kompetensi minimal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat lebih diserahkan kepada pihak sekolah/madrasah, khususnya pendidik. Dalam hal ini mereka dapat bekerja sama dengan berbagai pihak terkait seperti kepala sekolah, akademisi di perguruan tinggi dan tokoh masyarakat, namun yang menjadi inisator adalah pendidik.
Pendidik seharusnya tidak lagi dijadikan sebagai satu-satunya sumber belajar, sebab apa pun dapat dijadikan sebagai sumber belajar selama mendukung pencapaian hasil belajar. Sumber belajar yang dirancang secara khusus, seperti miniatur ka’bah, masjid, atau piramida, ataupun sumber belajar yang tinggal memanfaatkan seperti praktisi perbankan, politisi, tokoh masdyarakat, sungai, internet, radio, dan surat kabar, mempunyai fungsi yang sama dalam mengoptimalkan pencapaian hasil belajar peserta didik. Hal ini menuntut pendidik untuk semakin aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran jika tidak ingin ketinggalan dengan peserta didiknya yang dapat belajar dari banyak sumber.
Berdasarkan pemikiran tersebut, diperlukan tenaga kependidikan yang mempunyai pengetahuan luas dan mendalam tentang strategi pembelajaran. Proses pembelajaran harus mampu mengoptimalkan segenap potensi peserta didik dengan cara melibatkan mereka secara fisik dan mental dalam setiap pembelajaran. Untuk itu, strategi pembelajaran yang diterapkan pendidik harus mempertimbangkan setiap kecenderungan tipe belajar setiap peserta didik, apakah tipe somatik, auditif, visual atau intelektual. Peserta didik yang mempunyai kecenderungan somatik tidak akan maksimal dalam belajarnya jika pendidik menggunakan strategi belajar dengan ceramah, sebab metode ini hanya cocok bagi peserta didik dengan tipe belajar auditif. Tipe somatik hanya cocok jika pendidik menggunakan strategi yang membuat peserta didik terlibat secara fisik (learning by doing).[42] Begitu juga, peserta didik dengan tipe belajar visual akan tepat dan maksimal jika pendidik menggunakan strategi pembelajaran dengan contoh-contoh visual atau gambar, sementara peserta didik dengan tipe belajar intelektual akan tepat jika menggunakan strategi pembelajaran dengan penalaran.
Di sisi lain, seorang pendidikan harus kritis mencermati persoalan kependidikan, mulai dari penyimpangan praktik pendidikan di lapangan, kebijakan yang tedak tepat sampai persoalan yang menimpa dirinya sebagai seorang pendidik. Hal ini dilakukan agar pendidik [baca : guru] tidak hanya menjadi sosok manusia yang pasrah dan pasif karena dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa atau sosok Umar Bakri yang lugu dan sederhana. Dengan epistemologi di atas, kesederhanaan pendidik tentu masih sangat relevan tetapi tanpa mengabaikan peran dia yang harus kreatif dan kritis dalam menyelesaikan persoalan pendidikan. Masalah pendidikan tidak hanya diserahkan kepada para akademisi di perguruan tinggi atau pengambil keibjakan saja, namun dia juga harus berperan aktif dalam menyelesaikannya dengan kemampuan yang dimiliki.
Berdasarkan elaborasi singkat tersebut tampak bahwa diversifikasi strategi pembelajaran oleh pendidik mutlak diperlukan mengingat dalam satu kelas terdapat banyak peserta didik yang mempunyai banyak kecenderungan tipe belajar. Untuk itu, tidak ada strategi belajar yang paling tepat untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tujuan pembelajaran, kondisi peserta didik, waktu, fasilitas, dan pendidik. Yang jelas, untuk konteks pendidikan kritis, strategi pembelajaran diabdikan untuk mengoptimalkan potensi peserta didik, bukan untuk memenuhi harapan pendidik dan menghabiskan materi. Pendidik dituntut mengajar peserta didik untuk selalu dalam proses pencarian ilmu yang kritis dan dinamis, agar dia tidak terjebak pada context of justification, namun context of discovery.[43]
Perubahan lain yang perlu dilakukan jika kerangka epistemologi di muka diterima adalah konsep evaluasi. Evaluasi harus dimaknai sebagai upaya untuk mengetahui sejauhmana proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Karena potensi yang dimiliki peserta didik tidak tunggal, maka sasaran evaluasi juga tidak boleh tunggal. Evaluasi harus bertolak dari keragaman potensi yang dimiliki setiap peserta didik. Karena itu, evaluasi yang selama ini lebih melihat pada beberapa mata pelajaran tertentu, seperti mata pelajaran yang di-UAN-kan, dalam perspektif ini adalah tidak tepat. Sebab, yang dihargai hanya beberapa mata pelajaran saja, belum semua mata pelajaran. Ini sama saja hanya menghargai salah satu potensi yang dimiliki peserta didik.
Idealnya, setiap potensi dan kecenderungan peserta didik dihargai. Menurut Gardner, peserta didik paling tidak mempunyai delapan kecenderungan, yang kemudian dia jelaskan menjadi ragam kecerdasan (multiple intelligences), yaitu cerdas angka, kata, ruang, irama, fisik, interpersonal, intrapersonal, dan alam.[44] Dalam perspektif ini, jika selama ini prestasi anak hanya dilihat dari mata pelajaran matematika saja, sebenarnya ini baru melihat satu jenis kecerdasan, yaitu cerdas angka, padahal tidak semua peserta didik mempunyai kecenderungan ini. Untuk itu, dalam perspektif pendidikan kritis, setiap jenis kecerdasan ini harus diapresiasi dan dioptimalkan, sehingga setiap kecenderungan anak diperhatikan. Dalam jangka panjang tidak ada anak yang merasa minder hanya karena ia tidak cerdas angka, padahal ia cerdas kata atau cerdas fisik. Selain itu, tidak ada peserta didik yang merasa ‘di atas angin’ dibandingkan teman-teman yang lain hanya karena dia mempunyai kecerdasan angka.
Berbagai agenda perubahan dalam praktek pendidikan dengan kerangka epistemologi di atas tidak akan berjalan maksimal tanpa adanya dukungan politik dari pihak pemerintah. Untuk konteks keindonesiaan, perubahan manajemen pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi mengharuskan pemerintah [pusat] mengkondisikan berbagai aturan yang memungkinkan berjalannya konsep otonomi terutama dalam bidang pendidikan. Dalam manajemen baru ini, pemerintah pusat tidak lagi menjadi pemegang otoritas pembuatan kebijakan, apalagi sampai pembuatan juklak dan juknis. Pemerintah hanya membuat rambu-rambu yang bersifat global. Untuk itu, perlu ada evaluasi kebijakan dalam bidang pendidikan, mana kebijakan yang memberikan ruang bagi praktisi pendidikan untuk kreatif dan mana kebijakan yang menghambat dan mengekang.
Dalam konteks otonomi, kreatifitas masyarakat, khususnya pengelola lembaga pendidikan sangat diperlukan. Sebab, merekalah yang paling tahu kebutuhan dirinya. Untuk itu, pengembangan lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh pengelola lembaga pendidikan, khususnya kepala sekolah. Munculnya konsep manajemen berbasis sekolah dalam perspektif TQM (total quality management) merupakan wujud adanya pemberian keleluasaan pihak sekolah untuk merumuskan arah kebijakannya sendiri sesuai dengan kebutuhan riil, bukan ditentukan dari atas. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dia harus mampu memanaj potensi yang ada di sekitarnya, untuk itu harus mampu mensinergikan peran dan potensi para stakeholder pendidikan.

E. Penutup
Dihadapkan dengan berbagai problem keindonesiaan yang majemuk, praktik pendidikan Islam selama ini belum cukup efektif sebagai proses transformasi individu dan masyarakat yang membawa pesan agama seperti kedamaian, rahmatan lil-'alamin, dan sebaik-baik umat. Hal ini antara lain ditandai oleh paradigma berpikir sebagian praktisi pendidikan Islam yang cenderung juastifikatif. Di antara indikator model berpikir ini adalah masih munculnya klaim kebenaran atas penafsiran agama dan memandang penafsiran lain sebagai salah, adanya model berpikir tertutup (closed thinking) dan sempit tentang agama, dan adanya kesadaran seolah realitas keagamaan adalah tunggal yaitu agamanya sendiri atau bahkan kelompok atau paham keagamaan sendiri yang benar. Seharusnya, praktik pendidikan Islam mampu memberikan alternatif berbagai persoalan secara komprehensif, tidak dengan perspektif tunggal. Untuk itu, perspektif kritis-obyektif perlu dimunculkan, bahwa keimanan kita akan semakin kuat justru dengan berinteraksi secara komunikatif dengan agama-agama lain, bahwa realitas keagamaan adalah plural, bagaimana hidup dengan identitas agama sendiri yang kuat tetapi tidak merendahkan eksistensi agama-agama lain, dan dengan mengetahui dan mengenal agama lain bukan melunturkan keyakinan keagamaan sendiri melainkan justru memperkokoh keyakinan keagamaan sendiri, setidaknya menilai pemahaman orang lain tentang agama atas dasar ilmu dan tidak semata-mata sikap emosional secara buta. Untuk itu, sikap terbuka dan berdialog secara kritis perlu dikedepankan, bukan a priori.
Paradigma kritis tersebut akan muncul jika kerangka epistemologi pendidikan Islam digeser dari yang cenderung mengedepankan nalar bayani ke keterpaduan antara bayani, burhani, dan 'irfani. Ketiganya tidak berjalan secara adhoc, tapi sinergis. Bahwa dengan nalar bayani menjadikan teks sebagai inspirasi yang harus dibenturkan dengan problem empirik. Untuk itu, nalar burhani yang kritis harus muncul sehingga format dan praktik pendidikan Islam yang tidak kontekstual harus diubah. Sementara itu, ranah 'irfani yang mengasah aspek afektif harus dikembangkan juga, sehingga praktik pendidikan Islam tidak menjadikan umat Islam sebagai islamolog secara kognitif saja, namun juga harus mampu menghayati dan sekaligus mengamalkan dalam kehidupan nyata. Hasil pengamalan terhadap ajaran agama ini tampak ketika umat Islam aktif dan kritis dalam mencari alternatif pemecahan dengan prinsip liberasi, emansipasi, dan transendensi.
Kerangka epistemologi tersebut akan berpengaruh terhadap praktik pendidikan Islam. Pendidikan agama yang diajarkan di lembaga pendidikan perlu dilakukan penyesuaian terkait dengan perspektif kritis. Sebab, munculnya berbagai kasus konflik dan kerusuhan masa bernuansa etnis dan agama lebih disebabkan oleh minimnya pemahaman terhadap problem empirik seperti keragaman budaya yang sudah menjadi keniscayaan. Karena itu, tantangan dalam pendidikan tersebut harus direspons secara positif dan kreatif, dalam arti perlu segera dipersiapkan sejumlah perlengkapan baik yang menyangkut hardware maupun software-nya. Perangkat keras berkaitan dengan sarana dan prasarana yang memadai, sedangkan perangkat lunak terkait dengan sikap dan pola pikir. Meskipun kedua perangkat tersebut sama-sama penting, namun yang lebih esensial pada dasarnya adalah perangkat yang kedua, sebab dengan penyiapan sumber daya manusia yang handal, mampu berpikir kritis-analitis dan sistematis, maka problem yang dihadapi umat beragama dalam masyarakat majemuk relatif dapat diatasi. Cara paling efektif untuk mempersiapkan software tersebut adalah melalui media pendidikan. Dengan pendidikan umat beragama akan menyadari eksistensinya sebagai makhluk Tuhan yang hidup di tengah masyarakat yang plural.
Paradigma pendidikan agama yang selama ini berjalan perlu dikaji secara obyektif, sebab paradigma yang selama ini dijalankan ternyata lebih cenderung membentuk manusia beragama yang bersikap egois, close-minded, dan berorientasi pada kesalehan individual.[45] Karena itu, menghadapi kehidupan di tengah masyarakat yang majemuk ini, selain pendidikan dengan paradigma to think, to do, dan to be, juga perlu paradigma to live together dan learning how to learn. Untuk merubah paradigma pembelajaran agama di sekolah antara lain melalui tiga komponen penting pendidikan, yaitu kurikulum, guru, dan strategi pembelajaran. Kurikulum pendidikan agama hendaknya dirancang dengan memadukan ajaran yang terkandung dalam teks dan tantangan dan kebutuhan konteks masyarakat sehingga ada proses dialog yang fungsional antara teks dan konteks. Guru yang mengajarkan pendidikan agama harus mempunyai pemahaman yang memadai tentang teks agama dan konteks masyarakat dimana agama tersebut dilaksanakan. Selain itu, seorang pendidik agama juga harus mengikuti dan menguasai perkembangan isu-isu aktual di masyarakat seperti demokrasi, hak asasi manusia, masyarakat madani, pluralisme, dan kesetaraan gender. Akhirnya, strategi pembelajaran yang diterapkan guru harus memungkinkan peserta didik terlibat dan menghayati berbagai permasalahan agama dan budaya yang berkembang di masyarakat. Karena itu, strategi pembelajaran lebih diarahkan pada penyelesaian problem realitas dalam perspektif agama dan budaya.
Wallahu a'lam bi al-sawab

[1] Dosen Fakultas Tarbiyah dan Direktur Pusat Kajian Dinamika Agama, Budaya dan Masyarakat (PUSKADIABUMA) Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Sebuah penelitian tentang berbagai kasus kerusuhan masa yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia dapat dilihat lebih jauh dalam Laporan Akhir Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan UGM dengan Departemen Agama RI, Perilaku Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu, (Yogyakarta: P3PK, 1997).
[3] Tentang ambivalensi agama, yang di satu sisi mempunyai misi perdamaian, tapi di sisi lain menjadi media paling ampuh untuk membangkitkan emosi masa yang mengarah pada tindak kekerasan atas nama agama dapat dilihat lebih jauh dalam Ihsan Ali-Fauzi, “Ambivalensi sebagai Peluang: Agama, Kekerasan dan Upaya Perdamaian,” dalam Syifaul Arifin dkk. (ed.), Melawan Kekerasan tanpa Kekerasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar-The Asia Foundation-IRM, 2000), 67-82.
[4] M. Amin Abdullah, Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multirelijius, Pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat yang disampaikan di hadapan Rapat Senat Terbuka IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 13 Mei 2000, 2.
[5] Abdul Munir Mulkhan, “Dunia Pendidikan sebagai Perang Kekerasan,” dalam Syifaul Arifin dkk. (ed.), Melawan Kekerasan, 167-176.
[6] Kuntowijoyo, “Ilmu Sosial Profetik: Etika Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial” dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 61/1998: 64.
[7] Ibid., 69.
[8] Ibid., 70.
[9] Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (ed.), Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdulaziz University, 1981), 7.
[10] Abdul Haq Ansari, “Transformation of the Perspective” dalam Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (ed.), Aims and Objectives, 118-125.
[11] Bandingkan dengan pendapat Driyarkara yang menyatakan bahwa pendidikan sebagai proses hominisasi dan humanisasi. Bahwa pendidikan harus memanusiakan manusia dengan memaksimalkan potensi individualitas seseorang secara integratif, tapi pada saat yang sama pendidikan juga harus mampu menjadikan seseorang berperan aktif secara sosial dalam memecahkan probem sekitar sebagai makhluk budaya. Libih jauh lihat, A. Sudiarja, SJ dkk. (peny.), Karya Lengkap Sriyarkara: Esei-esei Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), 261-420.
[12] Bandingkan dengan pandangan Driyarkara yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan proses hominisasi dan humanisasi, yaitu memanusiakan manusia secara individual dan secara sosial. Setiap individu harus mampu mewujudkan diri sebagai person sebagai sosok yang mengintegrasikan semua potensi, tetapi di sisi lain dia juga harus mampu membangun komuinitas sekitarnya ke arah lebih baik. Lihat lebih jauh dalam A. Sudiarja, SJ, dkk. (peny.), Karya Lengkap Driyarkara: Esei-esei Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006),
[13] Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 207.
[14] Baca Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997).
[15] Gagasan ini dilontarkan oleh Ismail Raji al-Faruqi dalam karyanya Tauhid (USA: IIIT, 1986).
[16] Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1984), 4-7.
[17] Mohammed Arkoun, Tarikhiyyah al-Fikr al-‘Araby al-Islamy (Libanon: Markaz al-Inma’ al-Qawmy, 1986), 51-63.
[18] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
[19] Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), 29.
[20] Misi pertama mengacu pada surat al-Ahzab (33): 45-46, yang artinya, “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa kabar gembira serta pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya, dan sebagai cahaya yang menerangi.”
[21] Misi kedua mengacu pada surat al-Hadid (57): 25, yang berarti, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.”
[22] Al-Tabattaba’i, Mizan, Vol. 7, 178.
[23] Asghar Ali Engineer, Islam, 41.
[24] Q.S. al-Hujurat: 13.
[25] Amin Abdullah, Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
[26] M. Dawam Rahardjo, “Islam Faktual: Antara Tradisi Besar dan Tradisi Kecil,” dalam M. Bambang Pranowo, Islam Faktua Antara Tradisi dan Relasi Kuasa (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998)l, vii.
[27] R. Redfield, Peasant Society and Culture: An Anthropological Approach to Civilization (Chicago: The University of Chicago Press, 1956), 70.
[28] Clifford Geertz, The Religion of Java (New York: The Free Press of Glencoe, 1960).
[29] M. Bambang Pranowo, Islam Faktual Antara Tradisi dan Relasi Kuasa (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998), 3.
[30] G.E. Von Grunebaum (ed.), Unity and Variety in Muslim Civilization (Chicago: The University of Chicago Press, 1955).
[31] M. Dawam Rahardjo, “Islam Faktual”, viii,
[32] Andy Dermawan, Ibda Bi Nafsika Tafsir Baru Keilmuan Dakwah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hlm. 63.
[33] Muhammed `Abid al-Jabiri, Bunyah al`Aql al-`Arabiy, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-`Arabiy, 1993), hlm. 383-384.
[34] Muhammad Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer atas Filsafat Arab-Islam, terj. M. Nur Ichwan (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. xxvii
[35] M. Amin Abdullah, "al-Ta'wil al-'Ilmi: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci," dalam M. Amin Abdullah dkk., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural (Yogyakarta: IAIN Su-Ka dan Kurnia Kalam Semesta, 2002), hlm. 23.
[36] Ibid., 16.
[37] Baca kajian Azyumardi Azra tentang literature pendidikan Islam yang ada di Indonesia. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), 90-93. Bandingkan dengan Muqowim, “Dinamika Kajian Islam “Mazhab Sapen” Pemetaan atas Karya Disertasi di Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta” dalam Profetika Jurnal Studi Islam, Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 53-57.
[38] K.G. Saiyidain, “Progressive Trends in Iqbal’s Thought” in Eminent Scholars, Iqbal as A Thinker (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1991), 56.
[39] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk. (Bandung: Mizan, 2003), 266.
[40] Peter McLaren, “Liberatory Politics and Critical Pedagogy”, 142.
[41] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 15.
[42] Dave Meier, The Accelerated Learning Handbook (USA: McGraw-Hill Co., 2000), 41-52.
[43] M. Amin Abdullah, “Preliminary Remarks on the Philosophy of Islamic Relious Sciences” dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 61 tahun 1998, 6.
[44] Gordon Dryden and Jeannette Vos, The Learning Revolution To Change the Way the World Learns (USA: The Learning Web, 1999), 443 dan 489; Thomas Armstrong, Multiple Intelligence in the Classroom (ASCD, 1994).
[45] Lebih jauh Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan, 117-224.

Tidak ada komentar: