Jumat, 29 Juni 2007

kurikulum dinamis

KURIKULUM DINAMIS

A. Pengantar
Ontran-ontran "pembatalan" KBK yang dimunculkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menimbulkan tanda tanya besar dan spekulasi di kalangan praktisi dan pemerhati pendidikan. Hal ini ditambah pemberitaan di sejumlah media masa yang terkesan simpang siur karena lebih didasarkan pada angle masing-masing. Harian Kompas misalnya, dalam salah satu tajuk rencana-nya pernah menulis "Selamat Datang Kurikulum 2006" karena mempertimbangkan keluarnya kebijakan perubahan kurikulum berdasarkan rekomendasi BSNP yang ditetapkan oleh Mendiknas yang semula ditandatangani Maret 2006, meskipun kenyataannya sejauh ini belum dikeluarkan. Perubahan kurikulum ini bagi pengelola dan praktisi pendidikan di sekolah, khususnya kepala sekolah dan guru, juga belum jelas dan diketahui secara persis, bahkan menimbulkan perdebatan tersendiri di kalangan mereka. Sebagian cenderung welcome, sebagian tidak senang, khususnya bagi sekolah sudah mulai dapat beradaptasi dengan KBK, dan sebagian yang lain manut apa kata pemerintah.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa kebingungan para praktisi pendidikan bertolak dari tidak adanya informasi dan komunikasi yang memadai dari pihak yang berkompeten, khususnya pemerintah. Jika hal ini berlarut-larut dapat menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum, bahwa pemerintah cenderung menjadikan dunia pendidikan sebagai ajang coba-coba, tidak serius, dan sarat kepentingan. Di sisi lain, kebingungan para praktisi pendidikan merupakan cermin dari paradigma pengelolaan pendidikan yang cenderung tersentral, terbiasa "dibuatkan" pihak lain khususnya pemerintah, dan kurangnya pemahaman tentang makna kurikulum itu sendiri.[1]
Bertolak dari realitas tersebut, tulisan ini memfokuskan pada beberapa hal, yaitu beberapa paradoks yang ada dalam KBK, memaknai kurikulum, peran guru dalam pengembangan kurikulum, dan beberapa agenda ke depan. Tentu saja, penulis tidak berpretensi memberikan solusi akhir dan clear-cut, dari persoalan kurikulum, namun paling tidak ada beberapa hal yang perlu didiskusikan dan direnungkan ulang tentang persoalan pendidikan, khususnya kurikulum.

B. Paradoks KBK
Realitas tidak seindah idealitas. Itulah ungkapan yang mungkin tepat untuk menggambarkan Kurikulum 2004 (atau yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi [KBK]) antara kenyataan dan harapan. Diskrepansi ini menimbulkan pesimisme di kalangan praktisi pendidikan bahwa perubahan kurikulum tidak memberikan dampak apa-apa bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional. Dikhawatirkan, hal ini mengulang kasus paradigma CBSA dalam kurikulum yang pernah diterapkan beberapa waktu lalu yang tidak maksimal, sehingga CBSA cenderung diartikan Cah Bodo Soyo Akeh (anak bodoh semakin banyak) atau Catat Buku Sampai Abis. Hal ini terjadi karena konsep CBSA yang sebenarnya nama lain dari student active learning (SAL)[2] tidak dipahami sama sekali. Untuk itu, pengalaman pemberlakuan CBSA mestinya menjadi pelajaran berharga dalam pemberlakuan KBK. Namun, agaknya pengalaman serupa masih terjadi dalam Kurikulum 2004 sebab kenyataannya masih terdapat banyak paradoks.
Paling tidak ada empat paradoks yang terdapat dalam pemberlakuan KBK, yaitu terkait dengan makna, peran guru, buku ajar, dan evaluasi. Dalam hal makna, KBK sebenarnya sudah cukup ideal, sebab kelahiran kurikulum ini memang banyak terinspirasi oleh wacana pendidikan kontemporer yang diusung oleh para pemikir semacam Gardner,[3] Dryden,[4] Meier,[5] DePoter,[6] dan Silberman.[7] Berbagai gagasan para pemikir tersebut lebih diterima untuk memberikan alternatif pemecahan terhadap berbagai permasalahan dan realitas pendidikan yang cenderung memperlakukan peserta didik kurang manusiawi, yaitu cenderung kognitif, mementingkan isi ketimbang proses, evaluasi yang seragam, dan tidak memperhatikan keunikan peserta didik. Bertolak dari kenyataan itu, maka kurikulum yang lebih menekankan pada kompetensi dimunculkan.
Makna kompetensi itu sendiri mencakup unsur pengetahuan, pemahaman, sikap, nilai, dan keterampilan. Dengan demikian, dikatakan berkompeten jika seseorang tidak hanya menguasai aspek pengetahuan saja, namun juga termasuk penghayatan dan pengamalan. Selain itu, kurikulum ini lebih menekankan proses ketimbang produk, dan lebih menekankan pada "siswa harus bisa apa, bukan apa yang harus dipelajari siswa". Hanya saja, dalam realitasnya makna kurikulum tersebut belum sepenuhnya dipahami oleh praktisi pendidikan. Sebagian guru masih menekankan pada materi ketimbang proses, sehingga pembelajarannya pun cenderung teacher-oriented yang monoton, tidak ada variasi strategi pembelajaran yang meungkinkan peserta didik mendapatkan banyak pengalaman, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik.[8] Di sisi lain, muncul fenomena sebagian guru yang memaknai KBK yang lebih memberikan tugas sebanyak-banyaknya kepada siswa, sementara sang guru "duduk santai" dan tidak peduli dengan kesulitan siswa. Tidak heran jika KBK diterjemahkan dengan "Kurikulum Berbasis Kebingungan"
Dalam KBK peran guru sangat besar dan sentral.[9] Bahkan, sukses tidaknya kurikulum ini berada di tangan guru. Gurulah yang harus menjabarkan kompetensi dan indikator minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat ke dalam bentuk silabus dan bahan ajar. Peran guru ibarat Superman dan Doraemon sekaligus. Seperti Superman karena guru harus kerja ekstra keras dalam mendidik anak baik di kelas maupun di luar kelas. Dia harus memperhatikan secara detil satu per satu anak yang kemudian didokumentasikan dalam bentuk portofolio. Sementara seperti Doraemon, karena seorang guru dituntut harus dapat memberikan alternatif pemecahan terhadap masalah apa pun yang dihadapi anak. Dia harus mampu mengidentifikasi masalah, mendiagnosanya dan memberikan 'obatnya'.
Idealitas tersebut agaknya sulit diwujudkan mengingat beban kerja guru yang overloaded. Dia tidak hanya menangani satu kelas dan satu mata pelajaran, namun banyak kelas dan banyak mata pelajaran karena terbatasnya jumlah guru. Padahal, idealnya dalam konteks KBK seorang guru hanya menangani maksimal 20 anak. Hal ini diperparah dengan problem yang dihadapi guru di luar kelas, khususnya ekonomi keluarga yang pas-pasan jika hanya mengandalkan gaji sebagai guru. Kondisi yang demikian berdampak pada perhatian guru yang tidak fokus pada profesi yang diemban. Jika guru yang menjadi ujung tombak saja kurang berdaya, bagaimana pemberlakuan kurikulum dapat berjalan maksimal?
Paradoks berikutnya adalah dalam konteks buku ajar. Dalam KBK, pihak yang paling berhak menjabarkan kompetensi minimal ke dalam bentuk materi atau buku adalah guru. Sebab, dia yang paling memahami kebutuhan peserta didik dan konteks realitas empirik di sekitarnya.[10] Dengan pemahaman ini, tidak perlu ada penyeragaman buku ajar. Sebab, setiap sekolah dapat membuat buku ajar sendiri yang berbeda dengan sekolah lain.[11] Namun realitasnya, buku ajar dibuat oleh orang lain yang bukan guru. Bahkan, buku ajar dibuat oleh penulis dan penerbit yang sama sekali tidak memahami konteks sekolah yang menggunakan bahan ajar tersebut. Akibatnya, kurikulum cenderung anti realitas, karena, ibaratnya, pembelajaran di sekolah Papua dengan paradigma dan muatan Jakarta.
Ironisnya, para guru tidak siap "menjalankan fungsi yang seharusnya dilakukan" dalam menjabarkan kurikulum menjadi buku ajar karena terbiasa dengan "Juklak dan Juknis". Selama ini guru cenderung seperti robot yang berjalan secara mekanis, tinggal melaksanakan apa kata sang tuan, tidak mempunyai kreatifitas atau inisiatif. Maka, ketika diberi keleluasaan untuk berkreasi dan berinovasi tidak siap dan gagap. Tentu hal ini dipengaruhi oleh banyak hal, namun di antara yang paling penting adalah kebijakan pemerintah yang selama ini cenderung sentralistis dan tidak menghargai sekolah dan guru untuk kreatif.
Akhirnya, ada sikap ambigu yang diambil oleh pemerintah dalam hal evaluasi pembelajaran. Evaluasi dalam konteks KBK lebih menghargai keunikan peserta didik dan mengacu pada kompetensi dasar yang telah ditetapkan. Proses penilaian lebih diserahkan kepada guru dan sekolah yang bersangkutan, sebab pihak yang paling memahami proses belajar peserta didik adalah guru. Dengan pemahaman ini, sangat tidak relevan munculnya pelaksanaan evaluasi yang dilakukan secara seragam di seluruh sekolah,[12] sebab hal ini bertolak belakang dengan semangat KBK yang memberikan "ruang kebebasan dan kreatifitas guru" untuk menilai perkembangan peserta didik. Hanya saja, di sisi lain, seorang guru tidak boleh "asal menilai", sebab ada standar minimal evaluasi yang harus dipertimbangkan sehingga semua aspek dilihat, mulai dari kognitif, afektif dan psikomotorik. Model evaluasi pun tidak hanya terbatas pada ujian tertulis, namun juga ada penilaian portofolio, kinerja, dan proyek.

C. Perubahan Kurikulum
Dalam pandangan Cuban, kurikulum di sekolah pada dasarnya bertolak dari beberapa pertanyaan berikut, "What knowledge, skills, and values are most worthwhile? What are they so? How should the young acquire them?"[13] Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat menentukan tujuan, isi, organisasi, dan implementasi kurikulum di lembaga pendidikan. Bahkan dari persoalan tersebut memunculkan seribu lebih makna kurikulum. Berdasarkan pemahaman ini, kurikulum pada dasarnya hanya sebagai efek, bukan tujuan. Yang lebih penting adalah paradigma dari sang perancang kurikulum tentang beberapa persoalan yang dilontarkan Cuban tersebut.
Kurikulum apa pun namanya dibuat untuk kepentingan peserta didik. Sebab, kurikulum dibuat bukan untuk kepentingan pembuatnya, namun lebih pada seberapa manfaat yang dapat diambil oleh peserta didik dengan kurikulum tersebut. Masalahnya, selama ini kurikulum dibuat lebih untuk memenuhi kepentingan pembuatnya, bukan untuk peserta didik. Ironisnya lagi, para pembuat kurikulum tidak memahami keunikan peserta didik, filosofi pendidikan dan makna belajar dan pembelajaran. Pembuatan kurikulum lebih berorientasi pada sisi formalitas-administratif-politis dan cenderung mengabaikan hakikat kurikulum itu sendiri. Akibatnya, pergantian kurikulum seakan menjadi sesuatu hal rutin dan tanpa makna. Yang lebih parah lagi, para pendidik [guru] larut dalam paradigma ini sehingga kurikulum sebagai sesuatu yang sangat memberatkan dan seakan 'berada di luar sana dan sangat jauh dari mereka'. Tidak mengherankan jika 'terjadi kebingungan yang rutin dan menggelikan' baik dari pemerintah maupun kalangan praktisi pendidikan sendiri. Lalu, apanya yang salah?
Kesalahan fatal lebih terletak pada pemahaman bahwa kurikulum adalah sekedar seperangkat aturan yang berisi bahan mata pelajaran [materi] yang harus diberikan kepada peserta didik di sekolah dan dibuat oleh pemerintah. Dengan pemahaman ini, seakan-akan ada pihak yang membuat kurikulum dan ada pihak yang melaksanakan kurikulum. Pihak pertama adalah pemerintah [Depdiknas dan Depag] dan pihak kedua adalah sekolah [guru]. Dalam hal ini pemerintah sebagai konseptornya, yang punya acara, sementara sekolah sebagai pelaksananya. Hubungan patron-klien ini sangat terasa dalam pembuatan kurikulum di Indonesia, termasuk pembatalan kurikulum yang akhir-akhir ini muncul. Hal ini sebenarnya tidak terlalu menjadi persoalan ketika keduanya sama-sama memahami hakikat kurikulum. Bahwa kurikulum dirancang bukan untuk kepentingan sang pembuat, namun untuk kepentingan peserta didik. Jika hal ini dipahami, maka produk kurikulum tidak akan dipersoalkan baik dari pihak pemerintah maupun pendidik itu sendiri. Yang menjadi ukuran adalah sejauhmana kurikulum tersebut mengakomodasi kepentingan peserta didik!
Dalam bahasa Foucault, ada hubungan erat antara knowledge and power. Pembuatan sebuah kurikulum sangat dipengaruhi oleh paradigma sang pembuat, misalnya konsep tentang hakikat peserta didik, makna pendidikan, makna belajar, dan filsafat yang dianut sang perumus. Ketika peserta didik dianggap sebagai manusia dewasa dalam bentuk kecil dan cenderung disamakan antara satu individu dengan individu lain, maka kurikulum yang muncul cenderung uniform dan kaku, kurang menghargai keunikan setiap individu. Yang lebih parah, ada kecenderungan menyamakan masalah yang dihadapi peserta didik dengan yang dihadapi perumus. Padahal, kata Nabi, 'khatibu al-nas 'ala qadri-'uqulihim',[14] dan kata Gibran Khalil Gibran, 'puteramu bukanlah puteramu, dia adalah putera puteri kehidupan, dia memang berasal dari kamu tapi bukan milik kamu.'[15] Karena itu, yang pertama dipertimbangkan perumus kurikulum adalah melihat kebutuhan peserta didik dan tantangan yang akan dihadapi.
Pendidikan selama ini lebih dimaknai secara formal saja, sehingga ketika disebut kata pendidikan, maka yang terbayangkan adalah bentuk ruangan kelas, gedung sekolah, alat di laboratorium, guru mengajar di depan kelas, dan tumpukan buku pelajaran. Sangat jarang yang beranggapan bahwa di mana pun seseorang berada terjadi proses pendidikan, baik secara formal, informal, maupun nonformal. Hal ini berakibat pada pengakuan akan eksistensi seseorang dan akses pekerjaan. Ketika yang diakui adalah yang formal saja, maka pencari kerja yang tidak pernah mengenyam pendidikan di jalur ini dengan sendirinya akan terpental hanya karena syarat administratif, bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah sekolah formal dengan ijazah tertentu, meskipun dia memenuhi kualifikasi akademis dan terampil.
Tidak kalah parahnya adalah pemahaman yang tidak memadai tentang konsep belajar. Belajar cenderung dimaknai sebagai output saja, bukan prosesnya. Terlebih ukuran keberhasilan seseorang cenderung sama, misalnya NEM atau hasil UAN. Akibatnya, anak yang mempunyai kecerdasan di luar pelajaran yang diujikan tidak dianggap berhasil dalam belajar. Hal ini diperumit dengan lembaga pendidikan berikutnya yang menjadikan nilai tersebut sebagai persyaratan masuk, bukan kecerdasan unik setiap orang. Akibatnya, jutaan anak yang NEM/UAN-nya jelek dianggap bodoh dan harus lebih giat belajar lagi!
Sementara itu, filsafat yang dianut oleh perumus kurikulum juga akan mewarnai produk sebuah kurikulum. Jika dia menganut filsafat perennialisme, maka kurikulum yang dibuat lebih didominasi oleh sejumlah materi pelajaran yang berasal dari nilai-nilai atau budaya adiluhung yang berasal dari peradaban lama, sehingga cenderung idealis dan utopis. Bukannya hal ini tidak penting, namun kurang menjawab realitas empirik. Sebaliknya, ketika sang perumus mempunyai aliran filsafat rekonstruksionisme sosial, maka format kurikulum lebih diarahkan pada pembentukan masyarakat yang lebih baik melalui pendidikan. Penekanan lebih diorientasikan pada misi sebuah lembaga pendidikan sebagai agen perubahan sosial. Akibatnya, ketika tantangan masyarakat berubah dengan sendirinya bentuk kurikulum dan pendidikan juga berubah. Bagi kalangan perennialis, hal ini cenderung mengedepankan aspek pragmatis, kurang ideal. Lalu, bagaimana seharusnya?
Sebuah kurikulum yang ideal pada dasarnya tidak dapat diseragamkan, sebab sangat dipengaruhi oleh keunikan peserta didik itu sendiri dan konteks realitas tempat peserta didik itu berada. Hal ini satu alur dengan pendapat Gardner, "biarkan 100 sekolah berkembang". Artinya, format pendidikan, sekolah dan kurikulum tidak dapat diseragamkan. Kalaupun toh perlu ada kebijakan dari pemerintah, yang lebih diprioritaskan adalah kesepakatan antara pemerintah dengan praktisi pendidikan dalam hal filosofi dan kerangka umumnya, bukan teknisnya. Maka, yang perlu diperhatikan oleh pemerintah ketika menilai sekolah adalah sejauhmana kurikulum yang dikembangkan sudah memenuhi filosofi pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia dengan segala keunikannya dan filosofi belajar yang lebih menekankan pada proses perubahan peserta didik baik dalam hal pengetahuan, sikap maupun perilakunya.

D. Peran Guru dalam Perubahan Kurikulum
Pihak yang paling memahami kebutuhan peserta didik dan problem realitas masyarakat sekitar sekolah, idealnya, adalah guru itu sendiri. Ini berarti bahwa yang paling mengetahui dan harus menjabarkan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang harus dibekalkan kepada peserta didik tidak lain adalah guru. Ibaratnya, tidak adanya ketentuan dari pemerintah tentang kurikulum pun guru harus membuat kurikulum sendiri agar potensi peserta didiknya berkembang secara optimal dan mampu merespons kebutuhan masyarakat di sekitarnya.[16]
Clandinin dan Connelly menyatakan bahwa school-based curriculum development sudah saatnya diberlakukan. Yang menjadi pertimbangan adalah peran sentral guru di sekolah. Bahwa mereka adalah pelaku riil pembelajaran yang paling memahami keunikan peserta didik. Bagaimana mungkin kurikulum di sekolah dibuat oleh orang yang tidak memahami kebutuhan peserta didik.[17] Terlebih jika sang pembuat kurikulum tidak memahami hakikat pendidikan, pembelajaran dan evaluasinya, sehingga terkesan pemaksaan kehendak dan sarat kepentingan non-pedagogis. Selain itu, guru yang paling memahami kebutuhan masyarakat sekitar sekolah, sehingga merekalah yang harus merancang jenis pengetahuan, sikap dan keterampilan yang perlu dibekalkan kepada peserta didik. Masalahnya adalah banyak guru yang tidak memahami perannya sendiri!
Tentu banyak hal yang menyebabkan guru hanya mempunyai kesadaran naïf[18] seperti itu, baik dari aspek internal guru itu sendiri ataupun eksternal yang terkait dengan realitas sosial, budaya, politik dan ekonomi. Secara internal, kualitas "pahlawan tanpa tanda jasa" tersebut perlu dipertanyakan kembali, baik menyangkut komitmen maupun penguasaan keilmuan yang dimiliki. Yang terpenting sebenarnya menyangkut komitmen, sebab menjadi guru bukan sekedar mengandalkan penguasaan pengetahuan, namun seberapa besar dia mempunyai 'panggilan hati' untuk berbagi dengan sesema peserta didik sebagai insan yang sama-sama pembelajar.
Dengan pemahaman ini, dia akan mampu mendesain jenis pengetahuan dan pengalaman yang mestinya diberikan kepada peserta didik. Saat ini, idealitas tersebut sulit diwujudkan karena sebagian besar guru kurang memahami filosofi peserta didik sebagai manusia unik. Para guru tidak dapat disalahkan dan dijadikan kambing hitam (scapegoat), sebab realitasnya menjadi guru bukan semata-mata panggilan hati dan ikhlas beramal! Siapa mau dan berapa orang yang mau menjadi guru, mencurahkan semua perhatiannya untuk mendidik orang lain, sementara dia dan keluarganya terlantar kesejahteraannya?
Sementara itu, secara eksternal keberadaan guru tidak terlepas dari realitas sosial, politik, dan budaya di sekitarnya. Secara sosial, kebanyakan guru berasal dari kelas menengah ke bawah. Sangat jarang ditemukan guru dari kelas atas. Hal ini terjadi sebab guru bukan profesi yang promising seperti halnya bekerja di bank, perusahaan, dokter, pengacara dan sebagainya. Hal ini tentu berpengaruh terhadap kualitas input calon guru. Secara politik, selama enam dekade setelah merdeka, belum ada political will dari pemerintah secara signifikan untuk memperhatikan nasib para guru, sebab mereka dianggap tidak penting. Mereka didengar dan didekati hanya ketika mendekati pemilu atau ada kepentingan politik, setelah itu sama sekali tidak disapa, apalagi diperhatikan nasibnya! Padahal, melalui pendidikan dan para gurulah, SDM berkualitas dilahirkan. Bagaimana dapat menghasilkan kualitas yang unggul jika SDM yang mencetak tidak unggul! Akhirnya, secara budaya sosok guru lebih dicitrakan sebagai figure yang 'manutan' dan 'tidak neko-neko'. Perlakuan apa pun yang diarahkan padanya akan diterima "dengan senang hati" sebagai cobaan, tidak boleh mengeluh apalagi mengkritik. Ketika ada guru yang mengeluh apalagi sampai demonstrasi, maka 'itu menyalahi kode etik guru', ora elok.
Berbagai persoalan tersebut menjadikan sosok guru tidak banyak memainkan peran dalam mencetak SDM handal apalagi membuat kurikulum sendiri. Padahal, yang harus membuat kurikulum dinamis sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan tantangan masyarakat adalah guru itu sendiri. Karena itu, diperlukan upaya secara terpadu dan sinergis dari berbagai pihak yang mempunyai komitmen dalam peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, baik guru itu sendiri, pemerintah, LSM, dan para orang tua. Dalam hal ini, pihak pemerintah yang paling bertanggung jawab menghargai profesi guru dan meningkatkan kemampuannya agar fokus perhatian mereka pada bidang ini, bukan ngojek hanya karena tidak mendapat penghargaan memadai secara ekonomi.

E. Kata Akhir
Perubahan sebuah kurikulum merupakan proses alami yang dapat dilakukan kapan saja. Perubahan ini seharusnya lebih didasarkan pada kebutuhan peserta didik itu sendiri dan realitas masyarakat yang berubah. Dengan pemahaman ini kurikulum pada dasarnya hanya akibat dari cara pandang yang berubah tentang manusia [peserta didik] dan realitas sosial-budaya masyarakat. Karena tantangan masyarakat selalu berubah, maka perubahan arah dan isi kurikulum adalah sebuah keniscayaan. Perubahan ini tidak boleh terjebak pada ukuran waktu kronologis misalnya lima atau sepuluh tahun, sebab yang menjadi ukuran adalah dinamika masyarakat dan kebutuhan peserta didik itu sendiri. Boleh jadi setiap tahun kurikulum perlu di-up date.
Yang menjadi persoalan adalah tidak semua praktisi pendidikan memahami model kurikulum dinamis tersebut. Akibatnya, ketika tantangan berbeda sementara kurikulumnya masih sama, maka profil lulusan pun selalu tertinggal dan tidak mampu menjawab tantangan jaman karena yang dipelajari selalu usang. Belum ada paradigma antisipatoris dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan pendidik. Paradigma ini mengharuskan pemahaman yang memadai tentang ilmu psikologi, filsafat, sosiologi dan antropologi.
Profil guru saat ini merupakan cermin dari profil lembaga pencetak tenaga kependidikan. Jika profil mereka tidak kritis dan inovatif, hal ini disebabkan oleh proses yang mereka lalui juga tidak mengkondisikan mereka untuk kritis dan kreatif. Sebaliknya, jika LPTK memberikan bekal paradigma kritis, kreatif dan inovatif, maka profil guru yang dihasilkan pun dengan sendirinya tidak akan jauh berbeda. Untuk itu, evaluasi terhadap wadah LPTK perlu dilakukan. LPTK harus berbenah menyiapkan pendidik yang berkualitas dengan menekankan pada empat kompetensi, pedagogis, profesional, sosial, dan kepribadian. Kompetensi pedagogis mencakup keilmuan yang terkait dengan pembelajaran, mulai dari perspektif filosofis sampai praktisnya. Selama ini, LPTK terjebak pada penyiapan hal-hal yang bersifat teknis dan cenderung mengabaikan kerangka filosofis seperti hakikat pendidikan humanis, pembelajaran aktif, hakikat manusia, dan seterusnya. Padahal, format kurikulum, evaluasi, media, strategi pembelajaran, bahkan bentuk fisik gedung dan ruang kelas pada dasarnya hanya sebagai akibat saja dari kerangka filosofis tersebut!
Kompetensi profesional mengacu pada penguasaan keilmuan secara mendalam dan up to date. Hal ini menuntut pendidik untuk selalu meningkatkan penguasaan ilmunya dengan memperbanyak membaca baik buku, koran, majalah, dan jurnal maupun membaca realitas sosial empirik yang selalu berubah. Kompetensi sosial terkait dengan kemampuan guru untuk mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan pihak lain secara maksimal, baik dengan peserta didik, teman sejawat, masyarakat, orang tua, dan berbagai pihak terkait. Termasuk dalam kompetensi ini adalah sejauhmana dia andil dalam penyelesaian konflik. Sementara itu, kompetensi kepribadian lebih menekankan pada karakter dan akhlak guru yang menjadi teladan dalam berperilaku.
Akhirnya, kapan pun terjadi perubahan kurikulum seharusnya tidak menjadi persoalan sebab perubahan adalah sebuah keniscayaan jika tidak mau selalu tertinggal. Selain itu, guru pada dasarnya adalah kurikulum itu sendiri, sebab dia yang paling mengetahui keunikan peserta didik dan tantangan realitas yang ada di masyarakat. Untuk itu, guru harus memahami hakikat kurikulum dan cara mengimplementasikannya agar peserta didik mendapatkan apa yang seharusnya diperoleh untuk menghadapi tantangan masa depan yang selalu berubah..
[1] Realitas ini penulis peroleh ketika terlibat dalam sosialisasi KBK di berbagai provinsi, baik di Jawa maupun luar Jawa, serta interaksi penulis dengan para praktisi pendidikan di sekolah dan madrasah, seperti guru, kepala madrasah, dan pengawas di berbagai forum, bahwa mayoritas mereka kurang memahami KBK secara substansial. Hal ini terjadi, sebagian karena faktor sentralisasi pendidikan yang sudah berjalan sekitar 30 tahun sehingga tidak ada kreatifitas dan inovasi sekolah dan madrasah, kecuali sebagian kecil dari mereka yang kritis.
[2] Nana Sudjana dan Daeng Arifin, Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru, 1988), p. 32.
[3] Howard Gardner bersama-sama dengan Thomas Armstrong mengembangkan kecerdasan majemuk (multiple intelligence) dalam pendidikan, yaitu cerdas kata, cerdas angka, cerdas ruang, cerdas fisik, cerdas diri, cerdas sosial, cerdas irama, cerdas alam, dan cerdas eksistensial.
[4] Gordon Dryden dan Jeannete Vos, The Learning Revolution: To Change the Way the World Learns, The Learning Web, 1999.
[5] Dave Meier, The Accelerated Learning Handbook, (USA: McGraw-Hill, 2000).
[6] Bobbi DePorter, Quantum Learning, Dell, 1992.
[7] Mel Silberman, Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject, Allyn and Bacon, 1996. Buku ini telah diterjemahkan dengan judul Active Learning: 101 Strategi Pembelajaran Aktif (Yogyakarta: Yappendis, 2004).
[8] Pengalaman yang beragam peserta didik sangat ditekankan, tidak hanya kognitif, namun juga afektif dan psikomotorik. Pentingnya hal ini dapat dilihat dalam Frederick Erickson dan Jeffrey Shultz, "Studentds' Experience of the Curriculum," dalam Philip W. Jackson (ed.), Handbook of Research on Curriculum (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1996), p. 465.
[9] Ada baiknya kita lihat pandangan Snyder, Bolin dan Zumwalt, " The definitions of the teachers' role, viewed the teachers as assisting children to learn according to their interests throughout the day in self-contained classrooms. She was expected to emphasize the process, not the content of learning. She was expected to allow pupils maximum freedom in choosing their own activities." Lihat John Snyder, Frances Bolin, and Karen Zumwalt, "Curriculum Implementation", dalam Philip W. Jackson (ed.), Handbook of Research, p. 405.
[10] Alan Peshkin, "The Relationship Between Culture and Crriculum: A Many Fitting Thing", dalam Philip W. Jackson (ed.), Handbook of Research, p. 248-267.
[11] Richard L. Venezky, "Textbooks in School and Society" dalam Philip W. Jackson (ed.), Handbook of Research, p. 442. Bandingkan dengan pandangan Stephen J. Thornton, "Teacher as Curricular-Instructional Gatekeeper in Social Studies" dalam James P. Shaver (ed.), Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning (New York: Macmillan Publishing Company, 1991), p. 237-245. yang menyatakan adanya kecenderungan para guru di Negara maju, khususnya AS, untuk terpaku menjadikan buku ajar sebagai bahan utama dalam pembelajaran meskipun sudah dianjurkan untuk mengembangkan sendiri.
[12] Sebagaimana diketahui pemerintah menerapkan UAN untuk SMP/MTs dan SMA/MA sebagai ukuran keberhasilan. Akibatnya, sekolah cenderung beramai-ramai menggenjot anak agar dapat mengerjakan soal mata pelajaran yang di-UAN-kan, dan melupakan keunikan setiap anak. Sebenarnya UAN tidak menjadi persoalan selama hanya untuk mengetahui prestasi anak secara nasional, namun yang terjadi UAN cenderung menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan. Yang perlu dijadikan materi UAN seharusnya mengacu pada kompetensi minimal secara nasional. Karena itu, pihak sekolah pun seharusnya tidak perlu terbebani dengan UAN karena kompetensi minimal tersebut sudah dikuasai siswa. Yang menjadi masalah adalah ketika materi UAN melampaui standar minimal nasional yang tidak diajarkan sekolah.
[13] Larry Cuban, "Curriculum Stability and Change," dalam Philip W. Jackson (ed.), Handbook of Research, p. 221.
[14] Berbicaralah pada suatu kaum [audience, siapa pun] sesuai dengan kadar kemampuannya.
[15] Ini menegaskan bahwa "orang tua" hanya perantara, bukan pemilik. Tugas orang tua, pemerintah, dan lembaga pendidikan adalah memberikan bekal agar "anak mereka" mampu mengatasi tantangan yang kelak dihadapi yang sudah pasti berbeda dengan tantangan generasi tua. Hal ini senada dengan kata Nabi, ”Didiklah anak kamu sekalian, sebab mereka diciptakan di suatu masa yang berbeda dengan masa kamu".
[16] D. J. Clandinin and F. Michael Connelly, "Teacher as Curriculum Maker" dalam Philip W. Jackson (ed.), Handbook of Research, p. 363.
[17] Ibid., p. 364.
[18] Disebut kesadaran naïf sebab guru sebenarnya tahu permasalahan ini, namun dia merasa tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan keluarnya. Lihat Paulo Freire, Cultural Action for Freedom (New York: Penguin Books Ltd., 1977), p. 53.

Tidak ada komentar: