Kamis, 28 Juni 2007

pendidikan islam dan critical pedagogy

PENDIDIKAN ISLAM DAN PEDAGOGI KRITIS

A. Pengantar
Banyaknya problem yang menimpa dunia pendidikan akhir-akhir ini menimbulkan keprihatinan banyak kalangan yang peduli dan mempunyai komitmen dalam pengembangan pendidikan, mulai praktisi pendidikan di lembaga pendidikan hingga orang tua di rumah. Problem yang ada mencakup berbagai komponen yang ada dalam pendidikan seperti orientasi, kurikulum, sarana, evaluasi, dana, dan guru. Munculnya banyak permasalahan tersebut seperti sebuah paradoks pendidikan yang menimbulkan berbagai pertanyaan tentang akar persoalannya.[1] Konon, pendidikan untuk mengoptimalkan potensi peserta didik, tetapi kenapa potensi tersebut tidak kunjung aktual dan optimal, bahkan malah mandeg. Tidak heran jika Neil Postman mengatakan bahwa peserta didik datang ke sekolah dengan tanda tanya (?) dan keluar dari sekolah dengan tanda titik (.). Dalam pendidikan konon tugas pendidik adalah memberikan stimulan, fasilitas, dan motivasi demi aktualisasi potensi setiap peserta didik, tetapi realitasnya adalah upaya indoktrinasi dan pencekokan ilmu oleh pendidik, yang dinyatakan Freire sebagai the banking concept of education. Tentu masih banyak persoalan kependidikan yang tidak dapat diurai satu per satu dalam tulisan ini.
Untuk konteks pendidikan Islam persoalan yang ada tidak kalah dahsyatnya dengan problem pendidikan secara umum. Istilah Islam di sini jangan disimplifikasi sebagai model pendidikan eksklusif, formalis, dan anti terhadap konsep pendidikan yang berasal dari non Islam. Ia merupakan konsep yang digali dengan semangat al-Qur’an dan living Sunnah[2] dalam pengertian substantif. Sebagai sebuah ilmu, ia terinspirasi dari dua sumber pokok tersebut,[3] namun dalam dataran formulasi dan pengembangan terjadi dialektika dengan konsep atau teori yang dibangun dari non al-Qur’an dan Sunnah. Karena itu, sebagai sebuah produk keilmuan, sifat ilmu ini bersifat relatif, debatable dan falsifiable.[4] Secara konseptual pendidikan Islam bertujuan membentuk pribadi muslim yang berkesadaran kenabian, kata Iqbal, yang melek orientasi vertikal dan horizontal, tapi realitasnya banyak produk pendidikan Islam yang justeru bikin masalah di masyarakat, seperti munculnya gejala klaim kebenaran[5] dan konflik komunal.[6] Konon, pendidikan Islam juga sebagai proses transformasi sosial menuju khairu ummah dan rahmatan lil-‘alamin, tapi kenapa justeru terjadi kerusuhan masa di kantong-kantong masyarakat Islam. Ironisnya, kekerasan terjadi di kalangan internal umat Islam sendiri. Meskipun berbagai permasalahan tersebut tidak secara langsung disebabkan oleh praktek pendidikan Islam, namun paling tidak proses pendidikan sedikit banyak mempunyai andil dalam membentuk mindset masyarakat. Tentu masih banyak problem yang terjadi dalam praktek pendidikan Islam.
Bertolak dari permasalahan di atas, draft tulisan ini bermaksud mendiskusikan problem pendidikan, khususnya pendidikan Islam, dikaitkan dengan paradigma pendidikan kritis. Pembahasan tentang pendidikan kritis untuk kurun mutakhir dimunculkan oleh Freire dan kawan-kawan. Apa makna pendidikan kritis dan bagaimana posisi pendidikan Islam merupakan pembahasan pokok dalam kajian ini, yang mencakup secara berturut-turut tentang makna critical pedagogy, pendidikan Islam profetik, dan menuju pendidikan Islam kritis. Tentu, tulisan ini sama sekali bukan merupakan tawaran konsep fixed yang ready to be practised, namun hanya sebagai bahan diskusi yang perlu ditindaklanjuti.

B. Mengenal Pedagogi Kritis
Istilah pedagogi kritis (critical pedagogy) muncul seiring dengan maraknya kajian tentang pendidikan pembebasan, pendidikan untuk kaum tertindas, yang dilontarkan oleh Paulo Freire asal Brasil.[7] Dalam buku Conternarratives Colin Lankshear, Michael Peters, dan Michele Knobel[8] banyak mengulas pemikiran Freire yang mengusung tema pendidikan pembebasan. Menurut mereka, pendidikan kritis pada dasarnya bermula dari gagasan Freire. Menurut mereka ada beberapa ciri pendidikan kritis. Pertama, pendidikan pada dasarnya merupakan bentuk kritik sosial dan kultural, bahwa semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh relasi bahasa yang dibentuk secara sosial dan historis. Salah satu tujuan pendidikan adalah rekonstruksi sosial. Lembaga pendidikan merupakan media yang diharapkan mampu memperbaiki dan mengkritisi berbagai persoalan yang muncul di masyarakat yang diakibatkan oleh faktor ekonomi, politik, dan budaya. Karena itu, berbagai persoalan yang berkembang dalam realitas empirik tersebut dibawa ke ruang kelas untuk dikritisi dan dicarikan jalan keluar melalui proses kodifikasi konteks. Hasil pembahasan ini kemudian ditawarkan dan dilaksanakan sebagai alternatif pemecahan. Proses ini tidak akan berjalan secara maksimal jika tidak ada kesadaran kritis dari praktisi pendidikan terutama pendidik dan peserta didik.
Kedua, eksistensi seseorang sangat terkait dengan masyarakat yang lebih luas baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, ataupun lembaga pendidikan. Artinya kesadaran seseorang pada dasarnya merupakan cermin kesadaran kolektif yang dibentuk melalui mediasi keluarga, masyarakat, sekolah dan sebagainya.[9] Sebab, ia belajar dari orang di sekitarnya. Dalam konteks pendidikan kritis, masalahnya terletak pada kondisi seseorang ketika hidup dalam konteks masyarakat yang tidak memungkinkan dia mengembangkan potensi secara optimal, bahkan mandeg karena faktor struktural atau kultural.[10] Sebagai contoh, dia hidup dalam struktur politik yang represif yang tidak memungkinkannya leluasa mengeluarkan hak berpendapat untuk mengungkapkan keinginannya. Dia bahkan mungkin tidak menyadari bahwa dia sedang mempunyai permasalahan yang disebabkan oleh persoalan ekonomi atau politik yang ‘dikondisikan’ oleh pihak lain. Untuk itu, proses pendidikan adalah upaya untuk ‘menyadarkan’ seseorang tentang kondisi dia yang sebenarnya. Dalam paradigma pendidikan kritis, dia dibawa dari kesadaran naïf[11] ke kesadaran kritis.[12]
Ketiga, fakta sosial tidak pernah dapat dipisahkan dengan ranah nilai.[13] Ini berarti bahwa berbagai aktifitas yang terjadi dalam realitas-empirik merupakan perwujudan atau cermin nilai dari sang pelaku. Karena itu, menurut paradigma ini, ada hubungan yang erat antara aktifitas dan tindakan dengan nilai, antara konsep dengan obyek dan antara signifier dengan signified. Hubungan tersebut tidak selalu tetap (fixed) dan seringkali dimediasi oleh lingkaran produksi, konsumsi, dan relasi sosial. Untuk itu, pembacaan kritis terhadap sebuah fakta sosial harus selalu dilakukan. Sebagai contoh, terma pembangunan dapat dimaknai secara beragam oleh berbagai pihak hanya karena perbedaan pemahaman dan nilai yang dibangun selama ini. Bagi pemerintah, pembangunan merupakan terma yang digunakan sebagai proses mensejahterakan masyarakat. Karena itu, jika ada pembangunan jalan tol, maka berarti ada upaya mensejahterakan masyarakat. Namun, bagi masyarakat kata pembangunan dapat berarti sebaliknya, misalnya analog dengan penggusuran, relokasi atau ganti rugi. Anggapan ini muncul karena dalam realitasnya seringkali pembangunan dilakukan tidak didasarkan pada kebutuhan riil di masyarakat, namun didasarkan pada kemauan dari penguasa (top-down). Untuk mengatasi hal tersebut, perlu ada dialog terbuka antar berbagai pihak sehingga ada persamaan persepsi antara pihak pemerintah dan masyarakat.
Keempat, bahasa merupakan pusat bagi formasi subyektifitas. Dalam perspektif ini kepentingan, kebutuhan, dan kecenderungan seseorang atau lembaga dimunculkan melalui media bahasa.[14] Di sisi lain, bahasa pada dasarnya merupakan bentuk aksentuasi pemikiran seseorang yang kemudian disepakati bersama oleh masyarakat. Karena itu, sangat banyak dijumpai ragam bahasa yang digunakan masyarakat. Kata yang dimunculkan oleh sebuah komunitas belum tentu dimaknai secara persis sama oleh komunitas lain. Karena itu, seringkali dijumpai di masyarakat ada permasalahan yang muncul diakibatkan oleh perbedaan bahasa dan kultur.[15]
Kelima, munculnya perbedaan status di kalangan anggota masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial disebabkan oleh pemberian previlise secara tidak adil oleh pihak lain, seperti pihak birokrat, politisi, dan pemilik modal, karena kepentingan tertentu. Masalahnya, banyak anggota masyarakat yang menganggap perbedaan itu terjadi begitu saja, alami, dan niscaya. Dalam perspektif kritis, munculnya perbedaan tersebut sangat mungkin disebabkan oleh perlakuan yang tidak adil karena ada banyak kepentingan. Untuk itu, masyarakat perlu disadarkan tentang kondisi ini. Ini tidak berarti bahwa semua anggota masyarakat harus sama, namun ketika cara mendapatkan kekayaan, status social, atau jabatan itu dilakukan secara wajar dan prosedural, tentu hal ini akan diterima, sebab bagaimanapun kemampuan antara satu orang dengan yang lain berbeda.
Akhirnya, dalam perspektif kritis munculnya berbagai permasalahan di masyarakat tidak dapat dilihat hanya dari satu sisi saja, namun perlu mengaitkan dengan aspek lain.[16] Sebagai contoh, persoalan ekonomi tidak cukup hanya dilihat dari perspektif ekonomi, namun perlu dikaitkan dengan politik, budaya, bahkan pemahaman terhadap ajaran agama. Memandang permasalahan dari satu segi saja sama halnya dengan menyederhanakan masalah. Proses pendidikan harus mampu melihat persoalan yang muncul di masyarakat dari banyak perspektif. Sebagai contoh, banyaknya tenaga pendidik [guru] yang “ngobyek” di luar profesi sebagai guru tidak dapat dilihat dari aspek profesionalisme dan etos kerja guru saja, namun perlu dikaitkan dengan masalah kebijakan pemerintah yang belum menghargai profesi guru, atau rendahnya penghargaan masyarakat terhadap profesi ini.
Keenam karakter pendidikan kritis di atas pada dasarnya merupakan proses transformasi peserta didik secara individual maupun sosial. Artinya, dalam perspektif pendidikan kritis munculnya berbagai permasalahan yang menimpa seseorang disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Secara internal, dia belum mencapai kesadaran kritis yang mampu menyelesaikan persoalan yang ada dalam diri dan juga masyarakat sekitarnya. Hal ini merupakan cermin bahwa proses pendidikan belum sepenuhnya mengoptimalkan potensi yang dimiliki peserta didik. Untuk itu, praktik pendidikan harus diorientasikan untuk mengaktualisasikan semua potensi yang dimiliki peserta didik tanpa ada kepentingan tertentu dari pihak penguasa atau pengelola lembaga pendidikan. Di sisi lain, secara eksternal, munculnya problem yang menimpa seseorang karena faktor dari luar, misalnya ketidakadilan sosial, kepentingan politik, kepentingan ekonomi pemilik modal, atau kultur yang kurang menguntungkan. Untuk itu, dia harus disadarkan melalui proses pendidikan di mana ada proses refleksi dan aksi. Refleksi dilakukan untuk membahas dan mencari alternatif pemecahan terhadap problem realitas di ruang kelas, sementara aksi merupakan tindak lanjut dari proses refleksi tersebut ke luar kelas.
Dikaitkan dengan paradigma dalam ilmu-ilmu sosial, pendidikan kritis pada dasarnya satu alur dengan paradigma transformatif,[17] bukan positivistik atau interpretif. Paradigma postivistik mencakup psitivisme, neopositivisme, positivisme metodologis, dan positivisme logis, sementara paradigma interpretif mencakup interaksionisme simbolis, fenomenologi, etnometodologi, hermeneutika, psikoanalisa, etnologi, etnografi, dan sosiolinguistik, dan paradigma transformatif mencakup sosiologi kritis, conflict school of thought, Marxisme, dan feminisme.[18] Ketiga paradigma tersebut mempunyai perbedaan dalam memandang realitas, manusia, ilmu pengetahuan, dan tujuan penelitian. Dalam paradigma transformatif realitas merupakan sesuatu yang kompleks, apa yang tampak (appearance) sebenarnya belum menggambarkan realitas sesungguhnya, sebab realitas diciptakan oleh orang, bukan dikondisikan oleh alam.[19] Di balik yang tampak terdapat banyak ketegangan karena ada banyak kepentingan dari pelaku. Pandangan ini berbeda dengan paradigma positivistik yang beranggapan bahwa ralitas bersifat obyektif, dipersepsi melalui indera, dipersepsi secara seragam oleh semua orang, dan diatur berdasarkan hukum eksternal.[20] Sementara itu, bagi paradigma interpretif, realitas bersifat subyektif, berada dalam pikiran orang dan ditafsirkan secara beragam oleh setiap orang.
Tentang manusia, paradigma transformatif berpendapat bahwa ia adalah pencipta bagi nasibnya sendiri, ia seringkali ditindas, dialienasi, dieksploitasi, dibatasi, dikondisikan, dan dihambat realisasi potensinya.[21] Hal ini berbeda dengan paradigma positivistik yang berpandangan bahwa manusia adalah individu rasional yang mentaati hukum eksternal dan tanpa ­free will, sementara paradigma interpretif menganggap manusia sebagai pencipta dunianya sendiri, tidak dibatasi oleh hukum eksternal, dan menciptakan sistem makna.
Sementara itu, tentang ilmu pengetahuan dan tujuan penelitian, ketiga paradigma di atas mempunyai arah yang jauh berbeda. Bagi paradigma positivistik, ilmu pengetahuan didasarkan pada aturan dan prosedur yang ketat, bersifat deduktif, bergantung pada kesan indra, dan bebas nilai. Dengan pandangan ini, tujuan penelitian positivistik adalah untuk menjelaskan kehidupan sosial, memprediksi sejumlah peristiwa, dan menemukan hukum-hukum kehidupan sosial. Sementara itu, bagi paradigma interpretif, ilmu pengetahuan didasarkan pada common sense, bersifat induktif, tergantung pada penafsiran, dan tidak bebas nilai. Bagi paradigma ini tujuan penelitian adalah untuk menafsirkan dan memahami kehidupan sosial, serta menemukan makna yang dimiliki oleh orang lain.[22] Akhirnya, bagi paradigma transformatif, ilmu pengetahuan adalah kondisi yang membentuk kehidupan, namun kondisi ini dapat diubah, bersifat membebaskan dan memberdayakan, bergantung pada kesan indra dan nilai, dan tidak bebas nilai. Dalam perspektif ini, tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan, menafsirkan, dan mengurai kehidupan sosial, mengungkap mitos dan ilusi, dan untuk membebaskan dan memberdayakan masyarakat.

C. Pendidikan Islam: Paradigma Profetik
Dikaitkan dengan paradigma pendidikan kritis di atas, bagaimana posisi pendidikan Islam? Dalam hal ini, gagasan Kuntowijoyo tentang ilmu sosial profetik perlu dicermati, sebab tawaran ini bermula dari semangat al-Qur’an, khususnya surat Ali Imran (3): 110, yang artinya, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Menurutnya, paling tidak ada empat hal yang terkandung dalam ayat tersebut, yaitu konsep tentang umat terbaik, aktivisme sejarah, pentingnya kesadaran, dan etika profetik.[23]
Lebih jauh Kuntowijoyo menjelaskan, berdasarkan ayat di atas, ilmu sosial profetik mempunyai tiga unsur yang diderivasi dari terma amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minuna billah. Terma pertama, amar ma’ruf, identik dengan emansipasi. Dalam konteks sehari-hari amar ma’ruf dapat berupa kegiatan berdoa, berdzikir, shalat, menghormati orang tua, menyambung persaudaraan, dan menyantuni anak yatim.[24] Dalam konteks lebih luas terma ini dapat berupa mendirikan clean givernment, mengupayakan rekonsiliasi antar pihak yang bertikai, ketentuan jaminan sosial bagi karyawan atau buruh, menerapkan manajemen mutu terpadu (TQM), meningkatkan kesejahteraan guru, membuat kurikulum dinamis, sampai penanganan kasus tempat pembuangan sampah di Bojong Bogor. Terma kedua, nahi munkar, dartikan dengan liberasi, yaitu semangat membebaskan dari berbagai bentuk penyimpangan dan penindasan. Dalam bahasa sehari-hari, liberasi dapat berupa aktifitas mencegah tetangga dari mengkonsumsi putaw, melarang perbuatan selingkuh, memberantas judi togel, memberantas praktik jual beli gelar, memberantas pelanggaran hak cipta dan intelektual, sampai membela nasib buruh dan mengusir penjajah. Dengan demikian, terma liberasi harus dikaitkan dengan kepentingan sosial.[25] Akhirnya, terma ketiga, tu’minuna billah, diartikan dengan transendensi, yaitu mendialogkan berbagai urusan dengan Tuhan. Bagi umat Islam, secara sederhana transendensi berarti iman kepada Allah, namun dalam konteks yang lebih luas, semua aktifitas kehidupan harus mempunyai rujukan yang jelas dari semangat ajaran Islam, baik dalam pengertian formal maupun substantif. Sebab, ketika muncul istilah back to the Qur’an and al-al-Hadith sebenarnya dapat ditangkap secara hermeneutis, tergantung ‘sang pembaca’ dan ‘teks’ yang dihadapi sehingga sangat mungkin akan muncul beragam penafsiran, namun sama-sama merujuk pada spiritualitas Islam.
Dikaitkan dengan gagasan tersebut, karakter emansipasi dan liberasi sangat sesuai dengan paradigma pendidikan kritis. Hanya saja jika pendidikan kritis kurang mengaitkan nilai ajaran agama, maka dalam pendidikan Islam karakter transendensi harus dimasukkan, sebab semua aktifitas umat Islam harus diorientasikan pada semangat ketuhanan, bukan anti Tuhan.[26] Namun, dalam realitasnya karakter emansipasi dan liberasi tidak tampak dalam praktek pendidikan Islam, karena itu perlu ada transformasi perspektif, termasuk mendialogkan gagasan pendidikan kritis.[27] Padahal, Nabi Muhammad sendiri merupakan sosok yang sangat membebaskan dan transformatif.
Dalam perspektif Iqbal, pendidikan Islam harus mampu mencetak individu yang dapat menyerap cakrawala, bukan orang yang larut dalam cakrawala. Iqbal menyebut yang kedua dengan orang yang mempunyai kesadaran mistik (mystical consciousness) sementara yang pertama dengan orang yang mempunyai kesadaran kenabian (prophetic consciousness). Dengan pengertian ini, produk pendidikan Islam mestinya dapat melahirkan tipe orang kedua, yang mampu menentukan arah perjalanan sejarah, bukan dipermainkan oleh sejarah. Untuk itu, pendidikan harus dapat menghasilkan individu yang berkesadaran kenabian atau raushan fikr, bukan berkesadaran mistik. Tipe orang pertama selalu terlibat aktif dalam penyelesaian masalah, bukan menjadi bagian dari masalah atau menciptakan masalah. Singkatnya, pendidikan harus dapat menciptakan kesalehan sosial atau fungsional, bukan kesalehan individual yang egois dan individualis.[28]
Dengan pengertian tersebut, di tengah berjibunnya problem kontemporer yang diderita umat Islam, mulai dari persoalan ekonomi, hukum, sosial, budaya, politik, dan moral, konsep dan praktek pendidikan [Islam] diharapkan dapat memberikan kontribusi penyelesaian. Hanya saja, jika pendidikan Islam masih berjalan sebagaimana sekarang, maka sulit diharapkan perannya dalam penyelesaian masalah. Agama dan pendidikan harus didekati dengan perspektif kritis dimana keduanya merupakan inspirator munculnya transformasi individual dan sosial, dalam arti dapat mencetak individu yang aktif dalam pergumulan sosial dengan spiritualitas Islam serta membentuk masyarakat yang lebih baik. Semua aktifitas pendidikan senantiasa disinari oleh semangat ajaran Islam sebagai agama pembebas, sementara proses pendidikan sebagai upaya membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketertindasan.[29]
Dalam pandangan Islam, makna tauhid—sebagai inti ajaran Islam—mempunyai dampak sosial yang luar biasa, dalam arti bahwa tidak ada satu pun orang atau tatanan yang dijadikan sebagai rujukan atau tempat bergantung seseorang kecuali Tuhan sendiri. Dengan prinsip ini, semua aktifitas kehidupan diorientasikan pada pengabdian pada Tuhan, bukan untuk kepentingan materialis-hedonis duniawi. Karena itu, tauhidic paradigm[30] mestinya dapat membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan pengekangan unsur selain Tuhan. Hal ini dapat dilakukan melalui proses dan praktek pendidikan yang membebaskan.
Dengan pemaknaan di atas, maka pendidikan Islam pada dasarnya merupakan proses transformasi individu menuju terbentuknya manusia yang berkesadaran kenabian. Sebab, figur konkret yang harus ditiru oleh setiap individu muslim adalah Muhammad, sebagai individu tercerahkan yang mampu melakukan transformasi sosial ketika itu di Jazirah Arab. Upaya ‘meniru’ pola berpikir dan bertindak tidak sekedar dimaknai secara letterlijk, harfiah, namun harus hermeneutis-kontekstual, seperti mengikuti paradigma berpikir Nabi dalam penyelesaian problem empirik. Karena itu, Sunnah Nabi tidak diartikan sekedar secara literal, namun harus melalui pembacaan secara hermeneutis sesuai dengan konteks sosial yang dihadapi oleh ‘sang pembaca’. Dalam hal ini kerangka berpikir Rahman,[31] Arkoun,[32] Engineer,[33] maupun Esack perlu dikaji secara seksama, sebab relevan dengan kajian ini. Ketika tercipta manusia tercerahkan maka diharapkan terjadi proses transformasi sosial menuju masyarakat yang berkeadilan, setara, dan damai.
Menurut Muthahari, secara garis besar ada dua misi utama dari seorang Nabi.[34] Pertama, mengajak umat manusia ke arah pengakuan terhadap Tuhan dan pendekatan diri kepada-Nya. Kedua, menegakkan keadilan dan kesederajatan dalam masyarakat manusia. Misi pertama mengacu pada surat al-Ahzab (33): 45-46, yang artinya, “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa kabar gembira serta pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya, dan sebagai cahaya yang menerangi.” Sedangkan misi kedua mengacu pada surat al-Hadid (57): 25, yang berarti, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.”
Sementara itu, menurut al-Tabattaba’i diutusnya seorang rasul disertai dengan bukti yang berupa kitab dan mizan yang dengan itu mereka dapat menegakkan keadilan di antara umat manusia. Ini berarti bahwa para rasul datang untuk menyampaikan ajaran tauhid serta muamalah. Dengan demikian, misi seorang rasul mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi horizontal dan dimensi vertikal. Dimensi yang pertama berkaitan dengan aturan bagaimana melakukan muamalah antar sesama makhluk termasuk manusia. Dimensi ini diperlukan agar ketika manusia melakukan muamalah dengan sesamanya bisa berbuat adil, tidak saling merugikan antara satu dengan yang lain.[35] Hal ini harus diwujudkan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, budaya, sosial, ataupun relasi gender. Sedangkan dimensi yang kedua berkaitan dengan bagaimana berhubungan dengan Tuhan, yakni menyangkut persoalan ibadah.
Senada dengan Muthahhari, Afzalur Rahman berpendapat bahwa fungsi utama para nabi dan rasul adalah untuk memperkenalkan ajaran tauhid dan memperingatkan manusia agar melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terhadap Allah dan sesama manusia.[36] Secara umum, menurut Rahman, ada dua tugas seorang nabi, yaitu tugas terhadap Tuhan dan tugas terhadap sesama manusia. Tugas yang pertama dapat dicermati dari berbagai ayat al-Qur’an seperti Q.S. al-Mu’minun (23): 23,[37] Q.S. al-Zukhruf (43): 26-27,[38] dan Q.S. al-Baqarah (2): 21.[39] Sedangkan tugas yang kedua yaitu untuk membebaskan pikiran manusia dari semua takhayul dan mengajak manusia untuk mengamati, menganalisa, dan mengambil kesimpulan/pelajaran dari permasalahan di sekitarnya.[40] Tugas yang kedua ini sangat terkait dengan bagaimana membentuk character building individu muslim.
Misi yang kedua, yaitu misi kepada sesama manusia jika dilihat dari surat al-Baqarah (2): 151[41] maupun al-Jum’ah (62): 2,[42] ada tiga hal yang menjadi tugas seorang rasul. Pertama, membacakan ayat-ayat[43] Tuhan. Kedua, mensucikan, tazkiyah, hati manusia. Ketiga, mengajarkan kepada umat manusia tentang Kitab dan Hikmah.[44] Misi ini pada dasarnya merupakan bentuk penerapan monoteisme teoritis dalam kehidupan praktis.
Berkaitan dengan misi seorang nabi sebagai seorang pembebas dari penyakit-penyakit sosial, Engineer menegaskan bahwa pengetahuan akan kondisi sosial, politik, relijius, budaya dan ekonomi adalah sebuah keharusan bagi setiap umat Islam.[45] Sebab, gerakan pembebasan selalu berangkat dari pengetahuan dan kesadaran terhadap kondisi ini. Dikaitkan dengan konteks tersebut, Muhammad telah berhasil membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan keterbelakangan, seperti buta huruf, etnosentris, adanya Tuhan agen, subordinasi dan penindasan kaum perempuan, perbudakan, dan kesenjangan ekonomi. Hal-hal tersebut berhasil dibebaskan dan dihilangkan oleh Muhammad, sehingga kedatangan Islam betul-betul sebagai pembebas dari berbagai penyakit, baik penyakit rohani maupun sosial.
Mencermati sosok Muhammad sebagai pembebas di atas, maka proses pendidikan Islam harus mampu mencetak setiap peserta didik yang cerdas, kreatif, dan aktif membaca problem realitas di sekitarnya untuk kemudian memberikan alternatif pemecahan. Namun, pemberian alternatif ini harus diawali dengan pembacaan ala Hermes ketika menjembatani bahasa langit dan bahasa bumi dalam tradisi Yunani, sehingga yang muncul bukan anarki, tapi kearifan. Sebab, individu yang cerdas belum tentu arif dalam bertindak. Pendidikan Islam dituntut perannya dalam membentuk individu muslim yang penuh kearifan tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, pendidikan Islam yang menjadikan Nabi sebagai model dalam banyak hal sebenarnya sesuai dengan paradigma pendidikan kritis. Hal ini terlihat dari proses kreatif yang dilakukan Nabi sebagai hasil pembacaan terhadap problem realitas. Nabi aktif dalam penyelesaian problem di masyarakat, tidak mengejar kesalehan individual. Tradisi yang menurut masyarakat Arab sebagai sesuatu yang lumrah dan lazim dianggap oleh Nabi sebagai masalah, misalnya posisi kaum perempuan yang selalu mengalami diskriminasi. Menurut masyarakat Arab, hal ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar, sebab kaum perempuan secara fisik memang kurang dapat diandalkan untuk membela kepentingan sukunya. Namun, bagi Nabi, perlakuan semacam itu tidak manusiawi karena kedudukan manusia sama di hadapan Tuhan, yang membedakan hanya kualitas taqwa.[46] Hanya saja, proses kreatif Nabi dalam menyelesaikan problem sosial tersebut tidak banyak dipraktekkan oleh pemikir dan praktisi pendidikan mutakhir di Indonesia dalam membentuk peserta didik yang berkarakter emansipatif-liberatif-transendental.

D. Menuju Pendidikan Islam Kritis
Secara konseptual pendidikan Islam sebenarnya sudah cukup kaya dan sempurna sebab ingin membentuk pribadi muslim sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, meskipun lebih cenderung normatif.[47] Sebab, dalam realitasnya, praktik pendidikan Islam cenderung ‘idealis’ dan kurang bersentuhan dengan problem realitas-empirik. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya anggapan bahwa segala aktifitas hidup umat Islam, termasuk pendidikan, harus didasarkan pada wahyu yang given dari Tuhan dalam pengertian harfiah sehingga cenderung kurang melihat aspek realitas yang empirik. Karena itu, wajar jika formulasi tentang konsep pendidikan Islam relatif idealis dan kurang ‘membumi’, kurang bersentuhan dengan problem realitas. Padahal, sosok Nabi sendiri yang dijadikan sebagai model bagi pendidikan Islam jelas-jelas terlibat langsung dalam penyelesaian problem di masyarakat.
Karena itu, jika paradigma pendidikan kritis diterima dengan beberapa penyesuaian, maka yang perlu dipikirkan adalah tindak lanjut secara praktis, mulai dari perumusan orientasi pendidikan Islam, pembaharuan kurikulum, penyiapan sumber daya manusia, diversifikasi strategi pembelajaran, perubahan model evaluasi, evaluasi kebijakan, dan perubahan manajemen di lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Berbagai komponen ini perlu dikaji secara terpadu, simultan, dan komprehensif. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab praktisi pendidikan Islam saja, namun semua stakeholder pendidikan harus dilibatkan, mulai dari tenaga kependidikan di lembaga pendidikan formal, peserta didik, alumni, pengguna alumni, orang tua, tokoh masyarakat, kalangan LSM, akademisi, dan pejabat pemerintah terkait. Sebab, proses pendidikan tidak dapat berjalan secara linear dan monolitik, namun secara sirkular dan melibatkan banyak komponen.
Dalam hal orientasi, pendidikan Islam seharusnya tidak sekedar membentuk kesalehan individual semata, atau kesadaran mistik dalam perspektif Iqbal, namun harus membentuk kesalehan sosial juga. Sebagaimana disinyalir Iqbal pada awal abad ke-20 dan hingga sekarang masih terasa, umat Islam di dunia Timur cenderung mengedepankan kesadaran mistik dan kesalehan individual yang diibaratkan dengan larut dengan tasbih, yang penting selamat di akhirat, sementara problem sekitar tidak begitu dipikirkan.[48] Untuk itu, orientasi pendidikan harus diarahkan untuk membentuk individu muslim yang mempunyai kesadaran kenabian dengan karakter emansipatif, liberatif dan transendental yang mampu membaca problem empirik di sekitarnya sehingga ia mampu terlibat dalam penyelesaian problem. Tetapi, di sisi lain, dia juga mampu menyelesaikan setiap problem yang menimpanya.
Perubahan orientasi perlu segera diimbangi dengan perubahan kurikulum yang akan dibekalkan kepada setiap peserta didik. Sebagaimana dirumuskan oleh al-Attas, bahwa kurikulum pendidikan Islam dikonstruk berdasarkan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, namun harus didialogkan dengan problem realitas sehingga muatannya dinamis sesuai dengan konteks waktu dan tempat.[49] Dalam pengertian ini, sebenarnya perubahan kurikulum dapat dilakukan kapan saja, tanpa menunggu jangka waktu tertentu. Sebab, ketika problem dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat berbeda dan berubah, maka harus diikuti oleh perubahan kurikulum jika tidak ingin tertinggal dengan perubahan. Kurikulum dalam perspektif pendidikan kritis harus selalu mendialogkan teks dan konteks, antara normatif dan historis. Karena itu, akan selalu ada upaya kontekstualisasi teks sehingga mampu menjawab problem bumi. Dalam pandangan Freire, akan selalu ada proses kodifikasi konteks dan dekodifikasi. Kodifikasi konteks berarti mendialogkan, mendiskusikan dan mencari alternatif pemecahan terhadap problem yang berkembang di masyarakat ke dalam ruang ruang kelas.[50] Hasil rumusan alternatif ini kemudian dibawa ke masyarakat sebagai sebuah tawaran pemecahan. Dengan demikian, ada proses refleksi di ruang kelas dan proses aksi di luar kelas secara terus-menerus. Ketika problem yang ada di masyarakat berkembang, maka perlu ada kodifikasi kembali dan begitu seterusnya.
Hanya saja, sebagaimana disinyalir oleh Rahman, umat Islam harus melihat kandungan teks al-Qur’an dan al-Sunnah secara hermeneutis, dalam arti bahwa perlu ada upaya pencarian tentang ide moral yang terkandung dalam teks al-Qur’an. Ini hanya dapat dilakukan jika umat Islam melakukan kritik sejarah terhadap diturunkannya kitab tersebut. Untuk itu, Rahman menawarkan double movement methodology untuk dapat menangkap ide moral al-Qur’an.[51] Dalam pandangannya, sejak dulu sampai akhir zaman, teks al-Qur’an tetap, namun formulasi untuk pembumiannya dinamis tergantung problem yang berkembang di masyarakat.
Berdasarkan pemikiran tersebut, kurikulum dalam pendidikan Islam kritis, apa pun nama pengetahuan yang akan diajarkan, mengharuskan ada perpaduan secara dinamis antara teks dan konteks. Untuk itu, paradigma contextual teaching learning perlu diterapkan, artinya setiap materi yang disampaikan oleh pendidik harus bermakna bagi peserta didik. Apa yang dipelajari di dalam kelas harus selalu dikaitkan dengan problem dan konteks keseharian yang dihadapi peserta didik. Sebagai contoh, ketika berbicara tentang kerusakan lingkungan, harus ada dialog antara teks al-Qur’an dengan problem lingkungan yang ada di sekitar sekolah yang bersangkutan. Jika sekolah itu bertempat di Kalimantan, maka perlu dikaitkan dengan kasus illegal logging atau pembakaran hutan. Kasus ini tidak pas jika diterapkan untuk sekolah yang ada di Yogyakarta, sebab tidak ada hutan di daerah ini, kalaupun ada hanya sedikit. Untuk konteks Yogyakarta, kasus yang tepat adalah kasus penambangan pasir di Sungai Progo atau di lereng Gunung Merapi. Karena itu, dalam kurikulum ini harus lebih banyak memasukkan problem dan kearifan lokal.
Perubahan orientasi dan kurikulum tersebut harus diimbangi dan dibarengi dengan penyiapan sumber daya manusia yang mampu mengimplementasikan orientasi dan kurikulum itu dalam konteks praxis. Dalam sebuah adagium Arab dikenal al-mudarris ahammu min al-maddah wa al-tariqah. Sebaik apa pun materi dan strategi pembelajaran, jika tidak dipahami oleh pendidik, maka tidak akan berjalan secara maksimal. Untuk itu, perubahan mindset di kalangan praktisi pendidikan perlu dilakukan segera. Yang perlu dicermati bahwa merubah kultur berpikir tidak semudah merubah struktur. Jika perubahan struktur dapat dilakukan dalam hitungan hari bahkan jam, maka perubahan kultur [berpikir] memerlukan waktu cukup lama, tidak hanya tahunan bahkan generasi. Tidak mengherankan jika dalam kenyataan telah terjadi perubahan struktur [pemerintahan dan pengelola lembaga pendidikan], namun belum ada perubahan kultur. Sebab, orang yang menjalankan struktur baru tersebut masih sama dengan kultur lama.
Dalam pendidikan Islam kritis, sumber daya manusia pertama yang harus dibenahi adalah pendidik. Ini tidak berarti yang lain tidak perlu dibenahi. Namun, para pendidiklah yang menjadi ujung tombak (avant garde) terjadinya perubahan. Sebab, mereka yang selalu terlibat langsung dengan peserta didik dan yang mengimplementasikan kurikulum. Ini berarti, berhasil tidaknya sebuah rumusan dan konsep kurikulum dalam konteks praktis sangat ditentukan oleh faktor pendidik. Semakin berkualitas pendidik, semakin berhasil dalam membawa perubahan.
Dikaitkan dengan implementasi Kurikulum 2004 yang terkenal dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), sosok pendidik sangat diharapkan untuk keberhasilan kurikulum baru tersebut. Sebab, dalam pengelolaan kurikulum yang berujung pada penjabaran silabus dan materi pembelajaran dari rumusan kompetensi minimal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat lebih diserahkan kepada pihak sekolah/madrasah, khususnya pendidik. Dalam hal ini mereka dapat bekerjasama dengan berbagai pihak terkait seperti kepala sekolah, akademisi di perguruan tinggi dan tokoh masyarakat, namun yang menjadi inisator adalah pendidik.
Posisi pendidik semakin penting mengingat penjabaran materi sangat diserahkan ke tiap wilayah, bahkan lembaga pendidikan, untuk mengembangkannya tergantung kebutuhan. Hal ini didasari oleh prinsip pengelolaan KBK ‘kesatuan dalam kebijakan dan keragaman dalam pelaksanaan.’ Karena itu, sangat dimungkingkan adanya perbedaan implementasi dan pengembangan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Bahkan, dalam satu wilayah pun sangat dimungkinkan adanya keragaman implementasi antara satu lembaga pendidikan dengan lembaga pendidikan lain. Untuk itu, diperlukan pendidik yang mampu menerjemahkan dan menjabarkan kompetensi dasar sesuai dengan kondisi wilayah dan sekolah.
Pendidik bukan lagi menjadi satu-satunya sumber belajar, sebab apa pun dapat dijadikan sebagai sumber belajar selama mendukung pencapaian hasil belajar. Sumber belajar yang dirancang secara khusus, seperti miniatur ka’bah, masjid, atau piramida, ataupun sumber belajar yang tinggal memanfaatkan seperti praktisi perbankan, politisi, tokoh masdyarakat, sungai, internet, radio, dan surat kabar, mempunyai fungsi yang sama dalam mengoptimalkan pencapaian hasil belajar peserta didik. Hal ini menuntut pendidik untuk semakin aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran jika tidak ingin ketinggalan dengan peserta didiknya yang dapat belajar dari banyak sumber.
Berdasarkan pemikiran tersebut, dalam konteks pendidikan kritis diperlukan tenaga kependidikan yang mempunyai pengetahuan dinamis tentang strategi pembelajaran. Proses pembelajaran harus mampu mengoptimalkan segenap potensi peserta didik dengan cara melibatkan mereka secara fisik dan mental dalam setiap pembelajaran. Untuk itu, strategi pembelajaran yang diterapkan pendidik harus mempertimbangkan setiap kecenderungan tipe belajar setiap peserta didik, apakah tipe somatik, auditif, visual atau intelektual. Peserta didik yang mempunyai kecenderungan somatik tidak akan maksimal dalam belajarnya jika pendidik menggunakan strategi belajar dengan ceramah, sebab metode ini hanya cocok bagi peserta didik dengan tipe belajar auditif. Tipe somatik hanya cocok jika pendidik menggunakan strategi yang membuat peserta didik terlibat secara fisik (learning by doing).[52] Bergitu juga, peserta didik dengan tipe belajar visual akan tepat dan maksimal jika pendidik menggunakan strategi pembelajaran dengan contoh-contoh visual atau gambar, sementara peserta didik dengan tipe belajar intelektual akan tepat jika menggunakan strategi pembelajaran dengan penalaran.
Dis sisi lain, seorang pendidikan harus kritis mencermati persoalan kependidikan, mulai dari penyimpangan praktik pendidikan di lapangan, kebijakan yang tedak tepat sampai persoalan yang menimpa dirinya sebagai seorang pendidik. Hal ini dilakukan agar pendidik [baca : guru] tidak hanya menjadi sosok manusia yang pasrah dan pasif karena dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa atau sosok Umar Bakri yang lugu dan sederhana. Dalam perspektif kritis, kesederhanaan pendidik tentu masih sangat relevan tetapi tanpa mengabaikan peran dia yang harus kreatif dan kritis dalam menyelesaikan persoalan pendidikan. Masalah pendidikan tidak hanya diserahkan kepada para akademisi di perguruan tinggi atau pengambil keibjakan saja, namun dia juga harus berperan aktif dalam menyelesaikannya dengan kemampuan yang dimiliki.
Berdasarkan elaborasi singkat tersebut tampak bahwa diversifikasi strategi pembelajaran oleh pendidik mutlak diperlukan mengingat dalam satu kelas terdapat banyak peserta didik yang mempunyai banyak kecenderungan tipe belajar. Untuk itu, tidak ada strategi belajar yang paling tepat untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tujuan pembelajaran, kondisi peserta didik, waktu, fasilitas, dan pendidik. Yang jelas, untuk konteks pendidikan kritis, strategi pembelajaran diabdikan untuk mengoptimalkan potensi peserta didik, bukan untuk memenuhi harapan pendidik dan menghabiskan materi. Pendidik dituntut mengajar peserta didik untuk selalu dalam proses pencarian ilmu yang kritis dan dinamis, agar dia tidak terjebak pada context of justification, namun context of discovery.[53]
Perubahan lain yang perlu dilakukan jika pendidikan kritis diterapkan adalah konsep evaluasi. Evaluasi harus dimaknai sebagai upaya untuk mengetahui sejauhmana proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Karena potensi yang dimiliki peserta didik tidak tunggal, maka sasaran evaluasi juga tidak boleh tunggal. Evaluasi harus bertolak dari keragaman potensi yang dimiliki setiap peserta didik. Karena itu, evaluasi yang selama ini lebih melihat pada beberapa mata pelajaran tertentu, seperti mata pelajaran yang di-Ebtanas-kan, dalam perspektif pendidikan kritis adalah tidak tepat. Sebab, yang dihargai hanya beberapa mata pelajaran saja, belum semua mata pelajaran. Ini sama saja hanya menghargai salah satu potensi yang dimiliki peserta didik.
Idealnya, setiap potensi dan kecenderungan peserta didik dihargai. Menurut Gardner, peserta didik paling tidak mempunyai delapan kecenderungan, yang kemudian dia jelaskan menjadi ragam kecerdasan (multiple intelligence), yaitu cerdas angka, kata, ruang, irama, fisik, interpersonal, intrapersonal, dan alam.[54] Dalam perspektif ini, jika selama ini prestasi anak hanya dilihat dari mata pelajaran matematika saja, sebenarnya ini baru melihat satu jenis kecerdasan, yaitu cerdas angka, padahal tidak semua peserta didik mempunyai kecenderungan ini. Untuk itu, dalam perspektif pendidikan kritis, setiap jenis kecerdasan ini harus diapresiasi dan dioptimalkan, sehingga setiap kecenderungan anak diperhatikan. Dalam jangka panjang tidak ada anak yang merasa minder hanya karena ia tidak cerdas angka, padahal ia cerdas kata atau cerdas fisik. Selain itu, tidak ada peserta didik yang merasa ‘di atas angin’ dibandingkan teman-teman yang lain hanya karena dia mempunyai kecerdasan angka.
Berbagai agenda perubahan dalam praktek pendidikan berperspektif kritis tersebut tidak akan berjalan maksimal tanpa adanya dukungan politik dari pihak pemerintah. Untuk konteks keindonesiaan, perubahan manajemen pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi mengharuskan pemerintah [pusat] mengkondisikan berbagai aturan yang memungkinkan berjalannya konsep otonomi terutama dalam bidang pendidikan. Dalam manajemen baru ini, pemerintah pusat tidak lagi menjadi pemegang otoritas pembuatan kebijakan, apalagi sampai pembuatan juklak dan juknis. Pemerintah hanya membuat rambu-rambu yang bersifat global. Untuk itu, perlu ada evaluasi kebijakan dalam bidang pendidikan, mana kebijakan yang memberikan ruang bagi praktisi pendidikan untuk kreatif dan mana kebijakan yang menghambat dan mengekang.
Dalam konteks otonomi, kreatifitas masyarakat, khususnya pengelola lembaga pendidikan sangat diperlukan. Sebab, merekalah yang paling tahu kebutuhan dirinya. Untuk itu, pengembangan lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh pengelola lembaga pendidikan, khususnya kepala sekolah. Munculnya konsep manajemen berbasis sekolah dalam perspektif TQM (total quality management) merupakan wujud adanya pemberian keleluasaan pihak sekolah untuk merumuskan arah kebijakannya sendiri sesuai dengan kebutuhan riil, bukan ditentukan dari atas. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dia harus mampu memanaj potensi yang ada di sekitarnya, untuk itu harus mampu mensinergikan peran dan potensi para stakeholder pendidikan.

E. Penutup
Berdasarkan elaborasi singkat di atas, maraknya problem dalam dunia pendidikan mengindikasikan adanya praktek penyimpangan terhadap misi pendidikan itu sendiri, yaitu sebagai proses aktualisasi dan optimalisasi diri setiap peserta didik menuju terbentuknya kesadaran kenabian. Pendidikan mestinya harus dikembalikan pada misi utamanya, yang bertumpu pada kepentingan peserta didik itu sendiri, sehingga terbentuk kesadaran kritis. Dalam konteks pendidikan Islam, praktek pendidikan mestinya diorientasikan pada pembentukan pribadi yang berkesadaran kenabian, bukan kesadaran mistik. Hanya dengan kesadaran itulah akan terjadi proses transformasi sosial sebagaimana pernah dipraktekkan oleh Muhammad. Sebab, kedatangan Islam yang dibawa oleh Rasulullah adalah sebagai pembebas umat manusia dari segala bentuk penindasan dan keterbelakangan. Islam pada masa awal benar-benar sebagai rahmatan lil-alamin, bukan saja bagi umat Islam, namun juga umat non-Islam, bahkan alam semesta. Persoalannya sekarang, siapa yang harus meneruskan misi pembebasan tersebut ? Menurut salah satu hadis Rasulullah dikatakan bahwa sebagai pewaris para nabi adalah ulama (al-‘ulama warathat al-anbiya’).[55]
Yang diwariskan oleh para nabi kepada ulama tidak lain adalah misinya, yang dalam hal ini misi pembebasan manusia dari berbagai belenggu. Dalam hal ini, karena Nabi Muhammad merupakan nabi terakhir dan telah mengajarkan agama yang sempurna, maka tugas para ulama adalah meneruskan misi kenabian Muhammad tersebut sebagaimana yang telah terkandung di dalam kitab al-Qur’an. Selain itu, mengingat posisi dan fungsi Rasulullah sendiri sebagai suri tauladan bagi umat manusia, maka konsekuensinya semua yang datang dari diri Rasulullah harus diikuti, dalam hal ini yaitu Sunnah, atau meminjam istilah Fazlur Rahman yakni living sunnah-nya. Mengingat konteks masa yang dihadapi oleh Rasulullah dengan umatnya sangat berbeda, maka para pewaris misi kenabian dituntut kejelian dan kepandaiannya untuk menafsirkan apa yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah sehingga ajaran Islam senantiasa aktual dengan perkembangan zaman, salih likulli zaman wa makan. Inilah barangkali yang disebut dengan peran ulama sebagai pembaharu (mujaddid), bukan dalam pengertian membuat ajaran baru, namun memperbarui cara pemahaman terhadap ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah.
Sebenarnya, ulama tidak harus dimaknai secara sempit sebagai orang yang hanya mengetahui ajaran agama sebagaimana yang terkandung dalam aspek fiqh saja, atau al-‘ulum al-naqliyyah, namun ulama harus mempunyai wawasan yang luas selain agama. Sebab, agama Islam tidak hanya menyangkut persoalan ritual saja, namun juga mengembangkan, menyebarkan, dan melestarikan aspek-aspek non-ritual. Dalam istilah sekarang, para cendekiawan termasuk ke dalam kelompok ulama, sebab mereka adalah orang yang terlibat dalam data dan gagasan analitis, orang yang bergelut dalam penerapan praktis, dan orang yang berjuang untuk menyebarkan dan menegakkan gagasan normatif.[56] Mereka bukan saja harus mengandung pengertian sejenis pemikiran tertentu, tetapi juga bergelut dan ada hubungannya dengan socio-cultural dissent, bahwa dengan pencerahan ilmiah, mereka terdorong untuk memberikan kontribusi praktis bagi masyarakatnya, dan karena keterikatannya pada nilai-nilai yang dimuliakannya (ajaran Islam), mereka cenderung merasa kecewa dan gerah terhadap kemapanan yang dianggap statis, stagnan dan membelenggu. Inilah orang yang oleh Ali Syariati disebut dengan raushan fikr, orang tercerahkan. Perlu digarisbawahi bahwa enlightened person di sini bukan hanya dalam pengertian orang yang pernah mengenyam pendidikan formal tertentu, namun siapa pun, tanpa memandang jabatan, gelar, profesi, jenis kelamin, atau kelas sosial, yang mempunyai komitmen untuk memberikan pencerahan terhadap masyarakat terdekatnya, maka ia tergolong dalam terma ini.
Untuk itu, pendidikan Islam kritis pada dasarnya merupakan salah satu tawaran untuk mengembalikan misi pokok pendidikan sebagai proses pembentuk pribadi muslim yang berkesadaran kenabian, yang mampu menyelesaikan problem diri dan masyarakat sekitarnya. Dia mempunyai karakter emansipasi, liberasi, dan transendensi. Hal ini dapat dilakukan jika semuka komponen pendidikan dikaji ulang mulai dari orientasi kritisnya, kurikulumnya, tenaga pendidiknya, strategi pembelajaran dan evaluasinya, dan kemauan politik pemerintah. Dengan kesadaran kritis yang dimiliki oleh setiap umat Islam, yang dihasilkan melalui proses pendidikan, diharapkan muncul para pewaris Nabi yang mempunyai kesadaran kenabian (prophetic consciousness), di mana cakrawala larut dalam dirinya, bukan kesadaran mistik (mystical consciousness), yakni ketika ia larut dalam cakrawala.[57] Hal ini menuntut keaktifan setiap stakeholder pendidikan Islam untuk selalu responsif terhadap perubahan, perkembangan dan tuntutan jaman dalam kerangka mengkontekstualisasikan ajaran Islam dalam praktik pendidikan.


[1] Berbagai tantangan pendidikan ini dapat dilihat dalam tulisan Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (The New Mind Set of National Education in the 21st Century) (Yogyakarta: MSI-UII dan Safiria Insania Press, 2004), 9-30
[2] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (New Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1994), 45..
[3] Amin Abdullah, “Etika Tauhidik sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama: Dari Paradigma Positivistik-Sekularistik ke Arah Teoantroposentrik-Integralistik” dalam Amin Abdullah dkk., Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum (Yogyakarta: Suka Press, 2003), 13.
[4] Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 229-248.
[5] Dalam banyak kasus hanya karena perbedaan perspektif dan penafsiran terhadap persoalan, sebagian umat Islam dengan mudah terjebak dalam klaim kebenaran, mencap pihak yang berbeda sebagai salah, bahkan kafir atau murtad. Kasus Ulil Abshar Abdala dengan Jaringan Islam Liberal-nya atau Nasr Hamid Abu Zaid adalah sebagai contoh dalam persoalan tersebut.
[6] Lihat Laporan Akhir Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada dengan Departemen Agama RI, Perilaku Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu, Yogyakarta, 1997.
[7] Lihat karya Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Seabury, 1970) dan ibid., Education for Critical Consciousness (New York: Seabury, 1973).
[8] Lihat Henry Giroux, Colin Lankshear, Peter McLaren, dan Michael Peters, Counternarratives: Cultural Studies and Critical Pedagogies in Postmodern Spaces, (New York & London: Routledge, 1996), 125-126.
[9] Joe L. Kincheloe, and McLaren, Peter, "Rethinking Critical Theory and Qualitative Research," in Norman K. Denzin and Yuonna S. Lincoln (Eds.) Handbook of Qualitative Research (Second Edition). (London: Sage Publication, Inc., 2000), 139-140.
[10] Colin Lankshear, Michael Peters and Michele Knoebel, “Critical Pedagogy and Cyberspace” in Henry Giroux, Colin Lankshear, Peter McLaren, dan Michael Peters, Counternarratives, 150.
[11] Sebagai ilustrasi, kesadaran naïf adalah ketika seseorang mengetahui bahwa dia sebenarnya ‘bermasalah’, namun tidak kuasa mengatasi karena dikondisikan secara eksternal seperti ekonomi, politik, hokum, dan budaya.
[12] Sementara itu, kesadaran kritis terjadi ketika seseorang menyadari permasalahan yang dihadapi [dan problem masyarakat sekitar] dan aktif dalam pencarian alternative pemecahan.
[13] Peter McLaren, “Liberatory Politics and Higher Education: A Freirean Perspective” in Henry Giroux, Colin Lankshear, Peter McLaren, dan Michael Peters, Counternarratives, 125.
[14] Ibid.
[15] Bahasa pada dasarnya merupakan ekspresi kultur dari sebuah komunitas.
[16] Peter McLaren, “Liberatory Politics”, 126.
[17] Elliot W. Eisner, “Curriculum Ideologies” in Philip W. Jackson (ed.), Handbook of Research on Curriculum (New York: Simon and Schuster Macmillan, 1996), 314-316.
[18] Sotirios Sarantakos, Social Research, 2nd edition (Australia: Macmillan Education Australia Pty Ltd., 1998), 33.
[19] Ibid., 36.
[20] Ibid.
[21] Ibid., 37.
[22] Ibid., 40.
[23] Kuntowijoyo, “Ilmu Sosial Profetik: Etika Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial” dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 61/1998: 64.
[24] Ibid., 69.
[25] Ibid., 70.
[26] Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (ed.), Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdulaziz University, 1981), 7.
[27] Abdul Haq Ansari, “Transformation of the Perspective” dalam Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (ed.), Aims and Objectives, 118-125.
[28] Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 207.
[29] Baca Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997).
[30] Gagasan ini dilontarkan oleh Ismail Raji al-Faruqi dalam karyanya Tauhid (USA: IIIT, 1986).
[31] Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1984), 4-7.
[32] Mohammed Arkoun, Tarikhiyyah al-Fikr al-‘Araby al-Islamy (Libanon: Markaz al-Inma’ al-Qawmy, 1986), 51-63.
[33] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
[34] Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), 29.
[35] Al-Tabattaba’i, Mizan, Vol. 7, 178.
[36] Afzalur Rahman, Islam Ideology and the Way of Life (London: The Muslim School Trust, 1995), 36.
[37] Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (karena) sekali-kali tidak ada Tuhan begimu selain Dia. Maka, mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya) ?”
[38] Artinya : Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya : “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah.” Tetapi, (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi taufik kepadaku.”
[39] Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar supaya kamu bertaqwa.
[40] Afzalur Rahman, Islam, 38.
[41] Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan hikmah (al-Sunnah) serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
[42] Artinya: Dia-lah yang telah mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah (al-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
[43] Ayat bisa dimaknai dengan ayat qawliyah, yakni apa yang tersurat dalam Kitab suci, dan ayat kawniyah, yakni fenomena alam yang ada dalam masyarakat, terutama ayat kawniyah yang ada pada masa sebelumnya yang berupa kisah umat terdahulu.
[44] A. Rahman, Islam, 45. Dalam al-Qur’an yang diterjemahkan oleh Depag, hikmah dimaknai dengan al-Sunnah, sedangkan menurut al-Raghib al-Asfahaniy, al-hikmah diartikan dengan ketelitian, kecermatan, dan mengerjakan sesuatu dengan tepat. Sehingga oleh Majid Irsal al-Kaylani, al-hikmah diartikan dengan keterampilan.
[45] Asghar Ali Engineer, Islam, 41.
[46] Q.S. al-Hujurat: 13.
[47] Baca kajian Azyumardi Azra tentang literature pendidikan Islam yang ada di Indonesia. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), 90-93. Bandingkan dengan Muqowim, “Dinamika Kajian Islam “Mazhab Sapen” Pemetaan atas Karya Disertasi di Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta” dalam Profetika Jurnal Studi Islam, Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 53-57.
[48] K.G. Saiyidain, “Progressive Trends in Iqbal’s Thought” in Eminent Scholars, Iqbal as A Thinker (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1991), 56.
[49] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk. (Bandung: Mizan, 2003), 266.
[50] Peter McLaren, “Liberatory Politics and Critical Pedagogy”, 142.
[51] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 15.
[52] Dave Meier, The Accelerated Learning Handbook (USA: McGraw-Hill Co., 2000), 41-52.
[53] M. Amin Abdullah, “Preliminary Remarks on the Philosophy of Islamic Relious Sciences” dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 61 tahun 1998, 6.
[54] Gordon Dryden and Jeannette Vos, The Learning Revolution To Change the Way the World Learns (USA: The Learning Web, 1999), 443 dan 489; Thomas Armstrong, Multiple Intelligence in the Classroom (ASCD, 1994).
[55] Dalam hadis, setidaknya ada enam matan yang menunjukkan bahwa para ulama adalah pewaris para nabi. Lihat dalam al-Imam al-Bukhary, Sahih al-Bukhary (Beirut: Dar al-Qalam, 1987), dalam Kitab al-‘Ilm; Abu ‘Isa Muhammad b. ‘Isa b. Surah al-Tirmidhy, Sunan al-Tirmidhy (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Araby, t.t.), dalam Kitab al-‘Ilm hadis nomor 2606; Abu Dawud Sulayman b. al-Ash’ath al-Sijistany al-Azdy, Sunan Abu Dawud (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyah, t.t.), dalam Kitab al-‘Ilm hadis nomor 3157; al-Hafiz Abu ‘Abdullah Muhammad b. Yazid al-Quzwayny, Sunan Ibn Majah (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1987), dalam Kitab al-Muqaddimah hadis nomor 219; Ahmad b. Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1949-1980), dalam al-Kitab al-Ansar hadis nomor 2023; dan Abu Muhammad al-Darimy, Sunan al-Darimy (t.tp.: Dar al-Kutub al-‘Araby, 1987), dalam Kitab al-Muqaddimah hadis nomor 346.
[56] Lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual (Bandung: Mizan, 1992), 105-6.
[57] Lihat Muhammad Iqbal, The Development of Metaphysic in Persia: A Contribution in the History of Muslim Philosophy, terj. Joebaar Ayoeb (Bandung: Mizan, 1990), 15; lihat juga puisi Iqbal dalam Bal-I-Jibril sebagaimana dikutip oleh K.G. Saiyidain dalam Iqbal’s Educational Philosophy, terj. M.I. Soelaeman (Bandung: CV. Diponegoro, 1981), 172.

Tidak ada komentar: