Kamis, 28 Juni 2007

mengenal pendidikan islam transformatif

MENGENAL PENDIDIKAN ISLAM TRANSFORMATIF

A. Prawacana
Secara ontologis pendidikan pada hakikatnya adalah manusia, sebab ia merupakan hasil pemikiran yang dilakukan oleh dan untuk manusia guna mencapai aktualisasi diri di dunia. Sebagai produk pemikiran manusia, pendidikan bersifat relatif dan sangat tergantung pada kemampuan dan kualitas perumusnya. Di sisi lain, secara epistemologis sebaik apapun hasil pemikiran manusia tentang pendidikan bersifat relatif, sebab ia sangat tergantung pada konteks sosial dan tingkat pengalaman dan pengetahuan manusia, sementara manusia sendiri bersifat terbatas. Dengan pemahaman ini tidak ada alasan untuk men-taqdis-kan hasil pemikiran manusia di masa lalu yang dianggap baku (mabni) dan statis, sebab ketika realitas –yang dibatasi ruang dan waktu—berubah dan berbeda, maka respon manusia juga harus berubah jika tidak ingin jumud.
Sebenarnya berbicara tentang persoalan pendidikan sama halnya membicarakan tentang kehidupan manusia, sebab pendidikan merupakan proses yang dilakukan oleh setiap individu menuju ke arah yang lebih baik sesuai dengan potensi kemanusiaannya, mulai dari ayunan hingga liang lahad, min al-mahd ila al-lahd. Proses ini hanya berhenti ketika nyawa sudah tidak ada dalam raga manusia. Dalam Islam pendidikan diperlukan untuk membantu meneguhkan eksistensi dalam mengemban fungsi ‘abid dan khalifah. Eksistensi manusia sangat ditentukan oleh sejauhmana ia mampu menjalankan kedua fungsi tersebut. Selain itu, pendidikan pada hakikatnya merupakan proses memanusiakan manusia (humanizing human being). Karena itu, semua treatment yang ada dalam praktek pendidikan mestinya selalu memperhatikan hakikat manusia sebagai makhluk yang unik dan multidimensional, baik sebagai makhluk Tuhan dengan fitrah yang dimiliki, sebagai makhluk individu yang khas dengan berbagai potensinya, dan sebagai makhluk sosial yang hidup dalam realitas sosial yang majemuk. Untuk itu, pemahaman yang utuh tentang karakter manusia harus dilakukan sebelum proses pendidikan dilaksanakan.
Namun demikian, dalam realitasnya banyak praktek pendidikan yang tidak sesuai dengan misi di atas. Dalam prakteknya, pendidikan tidak berfungsi sebagai proses transformasi pada diri peserta didik dan masyarakat. Bahkan, praktek pendidikan seringkali menjadi biang terjadinya problem sosial. Hal ini antara lain dapat dilihat dari adanya kenyataan bahwa proses pendidikan yang ada cenderung berjalan monoton, indoktrinatif, teacher-centered, top-down, sentralistis, mekanis, verbalis, kognitif, dan misi pendidikan telah misleading. Tidak heran jika ada kesan bahwa praktek dan proses pendidikan Islam steril dari konteks realitas, sehingga tidak mampu memberikan kontribusi yang jelas terhadap berbagai problem yang muncul. Praktek pendidikan Islam yang dianggap misleading ini merupakan bukti bahwa belum ada pemahaman yang memadai tentang konsep dan implementasi pendidikan Islam dalam era kontemporer. Pendidikan Islam banyak mengalami reduksi, baik dari aspek makna maupun prakteknya.
Tidak berdayanya (powerlessness) pendidikan Islam tersebut menjadi keprihatinan bersama, mulai dari pakar dan praktisi pendidikan di lembaga pendidikan formal, tokoh masyarakat hingga orang tua di rumah. Pendidikan (khususnya agama) dianggap tidak cukup efektif memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah. Bahkan, ia menjadi part of the problem. Karena itu, banyak gagasan muncul tentang perlunya melakukan reinterpretasi dan reorientasi, termasuk melakukan perubahan paradigma dari praktek pendidikan yang selama ini berjalan. Perubahan paradigma tersebut antara lain berkaitan tentang pendidikan yang harus diselenggarakan dengan pendekatan akademis, bukan birokratis, pendidikan harus berorientasi mencetak peserta didik bermental mencari ilmu, bukan menunggu ilmu, peserta didik harus dididik mencadi orang aktif, bukan pasif, pendidikan harus berorientasi pada peserta didik (student-oriented), bukan pendidik atau negara (teacher and state-oriented), manusia harus dilihat secara antroposentris yang teosentrik, bukan hanya antroposentris, pengelolaan pendidikan tidak boleh sentralistis, tapi harus desentralistis, pendidikan agama tidak boleh disampaikan secara dogmatis saja, dan pendidikan harus bersifat inklusif, integralistik dan holistik.[1]
Yang jelas, pola pendidikan Islam yang selama ini berjalan harus dilakukan pergeseran atau perubahan menjadi pola lain yang lebih membumi terhadap realitas empirik. Ini berarti perlu melakukan transformasi dari ­the existing education ke the other new and better one.[2] Terma transformasi dalam tulisan ini mengimplikasikan perlunya melakukan pergeseran dari pola pendidikan Islam konvensional, menjadi pola baru yang mampu menjawab tantangan zaman.[3] Hanya saja, perubahan ini tidak akan berjalan efektif jika dilakukan secara ad hoc dan fragmental, namun harus secara integrated dan holistik, dalam arti bahwa peninjauan harus dilakukan secara menyeluruh terhadap aspek-aspek dalam pendidikan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan ulasan secara utuh dan instant terhadap persoalan perubahan paradigma pendidikan, namun hanya sebagai bahan diskusi untuk mengurai benang kusut problem pendidikan Islam, khususnya yang ada di Indonesia.

B. Problem Pendidikan Islam Kontemporer: Kasus Indonesia
Sebelum pembicaraan diarahkan pada transformasi dengan segala aspeknya perlu dikemukakan terlebih dahulu tentang problem pendidikan keindonesiaan, yang pada dasarnya juga sebagai problem pendidikan Islam dengan asumsi bahwa mayoritas penduduk di negeri ini adalah muslim. Dalam kesempatan ini akan disinggung tentang tantangan dan problem pendidikan nasional yang menyangkut empat hal, yakni persoalan pemerataan pendidikan, mutu, relevansi, dan efisiensi, sebagaimana disinyalir oleh Tim Komite Reformasi Pendidikan.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Balitbang Diknas tahun 2000, dari segi pemerataan, Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4%. Angka ini tergolong tinggi jika dibandingkan dengan APM di level SLTP yang hanya mencapai 54,8%. Lebih rendah lagi angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, masing-masing 31,5% dan 11,6%. Dilihat dari layanan pendidikan usia dini, fasilitas yang disediakan pemerintah baru mencapai 1% untuk anak usia 0-5 tahun melalui jalur penitipan anak, 12,65% untuk anak usia 5-6 tahun melalui TK, dan 0,24% melalui kelompok bermain (playgroup). Data lain menunjukkan bahwa masih terdapat 11.298.070 anak usia 4-6 tahun yang perlu diberi layanan pendidikan prasekolah. Selain itu, data tentang program pemberantasan buta aksara fungsional yang terkenal dengan Kejar Paket A (setingkat SD) dan Paket B (setingkat SLTP) menunjukkan bahwa pada tahun 2000 masih terdapat 17.079.220 orang yang masih buta aksara. Padahal realisasi program tersebut selama tahun 1998-2000 baru menjangkau 171.837 orang untuk Paket A dan 733.606 orang untuk Paket B (sekitar 10%). Hal ini ditambah lagi dengan angka putus sekolah anak SD diperkirakan setiap tahunnya sekitar satu juta anak. Akhirnya, dari segi pertumbuhan penduduk, dengan asumsi rasio pertumbuhan 1,04% untuk tahun 2005-2010 dan 0,66 untuk tahun 2010-2020, maka pada tahun 2020 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 253,7 juta jiwa dengan perkiraan 26,0 juta penduduk usia 7-12 tahun, 12,9 juta penduduk usia 13-15 tahun, 12,3 juta untuk penduduk usia 16-18 tahun, dan 24,7 juta penduduk usia 19-24 tahun. Dari total penduduk tersebut 60% tinggal di pulau Jawa,[4] sementara luas pulau ini hanya 6% dari seluruh wilayah Indonesia. Kondisi pemerataan ini tentu akan berdampak sangat besar bagi penyelenggaraan pendidikan nasional. Problem pemerataan ini terkait khususnya bagi masyarakat pedesaan dan atau masyarakat terpencil, keluarga kurang beruntung secara ekonomi, sosial, dan budaya, wanita, dan penyandang cacat.
Dalam hal mutu, kinerja sistem pendidikan nasional juga tidak bisa diandalkan, bahkan ada kecenderungan mengalami penurunan. Berdasarkan data Laporan Bank Dunia No. 16369-IND (studi I tentang International Association for the Evaluation of Educational Achievement di Asia Timur) menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada tingkat terendah dalam skala internasional. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD di Hongkong 75,5, Singapura 74,0, Thailand 65,1, Filipina 52,6, dan Indonesia 51,7. Anak-anak SD Indonesia hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan.[5] Mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang menuntut kegiatan penalaran.[6] Selain itu, menurut studi dari The Third International Mathematics and Science Study tahun 1999, di antara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas II Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA dan 34 untuk Matematika. Anak-anak di Indonesia masih terbiasa mengembangkan kemampuan akademik pada tingkat rendah, seperti menghafal, belum ke arah kemampuan berpikir kritis apalagi kemampuan memecahkan masalah.[7]
Selain itu, berdasarkan data dari UNESCO tahun 2000 tentang Human Development Index (HDI), yakni tentang komposisi pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala, menunjukkan bahwa pengembangan manusia Indonesia mengalami penurunan. Dari 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 pada tahun 1996, urutan ke-99 tahun 1997, urutan ke-105 tahun 1998, dan urutan ke-109 pada tahun 1999. Rendahnya HDI tersebut menunjukkan rendahnya daya saing bangsa dalam kehidupan global. Menurut The World Economic Forum tahun 2000, daya saing Indonesia menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvai. Tentu banyak faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan Indonesia ini, salah satunya adalah rendahnya kualitas pendidik.
Berdasarkan data Balitbang Depdikbud tahun 1998, sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma dua (D2)-Kependidikan ke atas, sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma tiga (D3)-Kependidikan ke atas, dari 337.503 guru SLTA/MA baru 57,8% yang berpendidikan S1 ke atas, dan dari 181.544 dosen baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (hanya 3,48% yang berpendidikan S3).[8] Data ini untuk tahun 2003 tentu sudah mengalami perubahan, namun paling tidak gambaran tersebut menunjukkan betapa kualitas tenaga kependidikan masih sangat rendah. Kondisi ini semakini semakin parah jika dikaitkan dengan banyaknya tenaga kependidikan yang "salah kamar" (mismatch), dalam arti guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keilmuannya, misalnya alumnus Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Tarbiyah mengajar matapelajaran Bahasa Inggris atau Matematika.
Aspek lain dari rendahnya kualitas pendidikan nasional adalah terjadinya degradasi moral masyarakat. Indikator tentang hal ini antara lain ditunjukkan oleh terjadinya praktek KKN, berbagai pelanggaran hukum dan hak-hak asasi manusia, eksploitasi calon-calon ibu anak, pengedaran narkoba, penyebaran HIV/AIDS, dan banyaknya tawuran yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa.
Problem pendidikan nasional berikutnya adalah terkait dengan relevansi antara lulusan pendidikan dengan tuntutan perkembangan kehidupan masyarakat. Banyak lulusan pendidikan yang masih menganggur (unemployment). Berdasarkan data BAPPENAS tahun 1996 yang dikumpulkan sejak tahun 1990, angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5%, dan PT sebesar 36,60%. Data ini tentu mengalami peningkatan sejak terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan tahun 1997 yang ditandai dengan kolapsnya perusahaan, likuidasi bank, terbakarnya tempat-tempat usaha (misalnya: kasus kebakaran Pasar Tanah Abang), dan sebagainya. Menurut data Balitbang Diknas tahun 1999, setiap tahunnya sekitar tiga juta anak yang putus sekolah dan tidak melanjutkan sekolah. Tantangan lain dari segi relevansi adalah adanya perubahan struktur ekonomi dari agroindustri dan manufaktur ke teknologi informasi dan komunikasi dalam era globalisasi. Dalam struktur yang pertama manajemen produksi dan SDM masih bertumpu pada teknologi mekanik dan produksi masal dengan orientasi pasar regional, sementara struktur yang kedua manajemen produksi dan SDM bertumpu pada teknologi digital dan networking dengan orientasi pasar bebas dan global.
Problem pendidikan nasional yang terakhir adalah rendahnya efisiensi. Hal ini antara lain terlihat dari penyebaran guru yang tidak merata, bangunan fisik gedung sekolah yang cepat rusak dalam kurun pendek, jam pelajaran yang tersedia tidak digunakan secara optimal, dan pengalokasian dana pendidikan yang tidak fleksibel. Berdasarkan data BKN tahun 1997 yang terkait dengan penyebaran guru menunjukkan bahwa SD di suatu daerah kekurangan guru 156.454 orang, sementara di daerah lain surplus guru 12.917 orang. Di SLTP dan SMU terdapat sejumlah guru bidang studi tertentu yang merangkap mengajar bidang studi lain yang tidak sesuai dengan bidangnya atau salah kamar. Adanya angka tingkat putus sekolah tahun 1999 3,4% di SD/MI, 4,01% di SLTP/MTs, 2,1% di SMU/MA, 3,5% di SMK, dan 1,4% di PT/PTAI juga menunjukkan tingkat efisiensi penyelenggaraan pendidikan yang belum optimal. Sementara itu, dari segi bangunan fisik, pada tahun 1998/1999 telah dibangun 173.000 SD-MI di seluruh Indonesia, namun dari jumlah tersebut 19.000 sekolah berada dalam kondisi rusak berat (gedung-gedung inilah yang pada beberapa minggu terakhir dilaporkan roboh). Akhirnya, alokasi dan anggaran pendidikan sampai tahun 2000 masih tergolong sangat rendah, yakni 6,3% dari APBN, jauh lebih rendah dari Korea, Thailand, dan Singapura yang menganggarkan tidak kurang dari 20 persen dari APBN.[9]
Akhirnya, dalam konteks pemaknaan tentang pendidikan Islam di Indonesia, ada persoalan serius yang perlu dicermati. Hal ini terkait dengan makna pendidikan Islam yang banyak mengalami reduksi. Paling tidak reduksi ini dapat dilihat dari beberapa sudut. Pertama, secara kelembagaan, selama ini pendidikan Islam cenderung dipahami sebagai pendidikan yang diselenggarakan oleh institusi pendidikan yang berlabel Islam atau lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam pengertian al-‘ulum al-naqliyyah. Karena itu, yang termasuk kategori ini adalah pondok pesantren, madrasah, sekolah dengan label Islam, atau IAIN. Kedua, pendidikan Islam lebih diartikan sebagai pendidikan tentang ilmu agama, sementara yang dimaksud dengan ilmu agama adalah ilmu-ilmu yang selama ini termasuk kategori ilmu naqliyyah seperti fiqih, tafsir, hadis, akhlak, aqidah, dan bahasa Arab, untuk tidak menyebut semuanya secara rinci. Lebih reduksi lagi, pendidikan Islam (agama) dimaknai sebagai mata pelajaran di sekolah umum yang hanya berbobot 2 atau 3 sks. Dengan pemahaman ini mata pelajaran non-agama bukan bagian dari pendidikan Islam. Dalam perspektif Rahman, ini merupakan implikasi dari dikotomi ilmu dalam Islam yang sudah berjalan sekian lama.[10]

C. Makna Pendidikan dan Manusia: Kembali ke Khittah
Berbagai permasalahan di atas sebenarnya tidak perlu terjadi jika praktek dan proses pendidikan dilandasi oleh adanya kesadaran terhadap makna pendidikan dan manusia. Keduanya saling terkait karena ketika berbicara tentang pendidikan berarti berbicara tentang manusia dengan berbagai potensinya. Sebaliknya, ketika berbicara tentang manusia juga pasti berbicara tentang upaya mengoptimalkan potensi kemanusiaannya melalui pendidikan, meskipun pendidikan yang dimaksud di sini tidak sebatas pendidikan formal yang ternyata justru banyak memenjarakan manusia.[11] Berubahnya praktek pendidikan (Islam) yang antara lain ditandai oleh fenomena lembaga pendidikan alternatif, seperti lembaga pendidikan Islam terpadu, alternatif strategi pembelajaran, kurikulum yang dinamis, dan evaluasi yang menghargai potensi siswa pada dasarnya merupakan wujud adanya cara pandang yang berubah tentang makna manusia sebagai peserta didik.[12]
Pendidikan harus dimaknai sebagai upaya untuk membantu manusia mencapai realisasi diri dengan mengoptimalkan semua potensi kemanusiaannya. Dengan pengertian ini, semua proses yang menuju pada terwujudnya optimalisasi potensi manusia ini, tanpa memandang tempat dan waktu, dikategorikan sebagai kegiatan pendidikan. Sebaliknya, ketika ada praktek yang katanya disebut pendidikan ternyata justru menghambat berkembangnya potensi kemanusiaan dengan berbagai bentuknya, maka ini justru bukan praktek pendidikan. Hanya saja, harus disadari bahwa memang ada perbedaan cara atau strategi antara satu tempat dan waktu tertentu dengan tempat dan waktu yang lain, namun mestinya perbedaan tersebut hanya sebatas teknis pelaksanaan, bukan pemaknaan tentang hakikat pendidikan itu sendiri. Munculnya tujuh penyakit pendidikan di Barat, sebagaimana disinyalir oleh Dave Meier dalam The Accelerated Learning­-nya, merupakan wujud adanya cara pandang yang keliru tentang hakikat pendidikan.[13] Selain sebagai upaya untuk melakukan transformasi bagi peserta didik ke arah yang lebih baik, pendidikan juga harus dapat mentransformasi masyarakat ke arah terbentuknya masyarakat madani, yang terbuka, demokratis, humanis, dan pluralis.
Terma berikutnya yang perlu dicermati dalam konteks pendidikan adalah tentang manusia sebagai makhluk pembelajar (learner). Lengkap tidaknya sebuah pemahaman tentang konsep manusia akan berakibat pada baik-buruknya praktek pendidikan. Karena secara ontologis ilmu adalah manusia, maka konsep (ilmu) tentang manusia juga sangat dipengaruhi oleh manusia itu sendiri, yang ditentukan oleh tingkat pengalaman dan pengetahuan serta setting sosial-masyarakatnya. Dalam konteks Islam, makna manusia ditentukan juga oleh seberapa jauh pemahaman umat Islam tentang manusia yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Meskipun rujukan utama umat Islam sama, namun ketika ia dipahami oleh seribu kepala akan muncul seribu pemahaman (penafsiran). Karena itu, tidak ada alasan untuk berbegang pada satu pemahaman tentang makna manusia yang dapat dipakai likulli zamanin makanin.
Sebagai makhluk yang unik dan multidimenional, tidak ada yang tahu secara persis tentang hakikat manusia. Sepanjang sejarah, tidak ada yang berhasil merumuskan secara baku dan komprehensif tentang makna manusia. Ketika filosof mendekatai terma ini akan berbeda rumusannya dengan psikolog meskipun ­nash-nya sama. Manusia tetap menjadi misteri bagi kehidupan. Tidak heran jika Carel Alexis, salah seorang pemenang Nobel, membuat karya berjudul The Unknown Man. Karena keterbatasan-keterbatasan inilah, maka diperlukan banyak perspektif dalam memahami hakikat manusia. Satu disiplin ilmu tidak boleh terlalu "PD" (Percaya Diri) dengan rumusannya, ia harus bekerjasama dengan disiplin ilmu lain. Paling tidak, perspektif yang harus digunakan dalam memahami makna manusia antara lain filsafat, yang mengkaji manusia secara radikal dari sisi ontologi, epistemologi, dan aksiologi, psikologi, yang membahas manusia dari aspek kejiwaannya, biologi, yang mencermati manusia dari aspek struktur fisiknya sebagai makhluk hidup, antropologi, yang mendekati manusia sebagai makhuk budaya yang unik, dan al-Qur’an, yang mendekati makna manusia secara preskriptif, meskipun kualitas pemahaman terhadap al-Qur’an sangat ditentukan oleh kualitas penafsirnya. Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, maka akan semakin banyak perspektif yang harus digunakan. Lebih-lebih disiplin filsafat, psikologi, biologi, maupun antropologi sendiri telah mengalami diversifikasi.
Ketika rumusan tentang makna pendidikan dan hakikat manusia dari multi perspektif tersebut diperoleh, maka praktek dan pola pendidikan baru dirumuskan, meskipun pemahaman yang komprehensif dan final tentang kedua terma tersebut tidak mungkin diperoleh secara final, sebab jaman dengan berbagai tantangannya selalu berubah. Justru karena adanya kesadaran bahwa konsep tentang pendidikan dan manusia yang terus berubah inilah, maka praktek pendidikan juga harus selalu berubah. Karena itu, upaya untuk selalu melakukan perubahan paradigma pola pendidikan harus dilakukan.

D. Melihat Orientasi Pendidikan Islam dalam Sejarah: Prophetic Paradigm
Sebuah pencarian format pendidikan Islam yang ideal akan mengalami kesulitan, untuk tidak mengatakan gagal, jika tidak disertai dengan upaya melakukan rekonstruksi sejarah terhadap pola pendidikan Islam yang pernah dipraktekkan oleh generasi Islam awal. Hal ini bukan berarti sebagai bentuk romantisme sejarah, namun sosok ideal pendidikan Islam ketika itu memang dipraktekkan. Tentu hal ini tidak ada pretensi untuk kembali ke masa lalu secara letterlick karena hanya akan membuat langkah regresif, namun tetap berpijak pada konteks realitas modern yang terus berubah. Meminjam istilah Rahman, upaya historical criticism (naqd al-tarikh) harus tetap dilakukan. Yang pertama harus dicermati adalah praktek pendidikan Islam oleh Rasulullah. Ketika itu Rasulullah tampil sebagai raushan fikr yang mampu mereformasi secara total terhadap tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan jahiliyah[14] yang menyimpang. Paling tidak, secara umum misi kenabian Muhammad saw dapat dibagi ke dalam dua hal, yakni sebagai respon terhadap penyimpangan tauhid dan ketimpangan sosial (social discrepancy).[15] Kedatangan Islam berada dalam konteks realitas yang ketika itu sarat persoalan yang harus segera mendapat jawaban. Sosok Nabi hadir sebagai individu paripurna yang mempunyai kesadaran eksistensialis-teistik dan liberatif, yakni adanya kesadaran untuk menghilangkan penyakit vertikal dan horisontal.[16] Living sunnah yang dipraktekkan oleh Nabi inilah yang pertama harus dilihat. Islam hadir bukan sebagai agama yang teralienasi dari konteks, tapi involved dalam penyelesaian problem realitas.
Dengan mencermati misi profetik yang merupakan inti orientasi pendidikan dalam Islam di atas, maka proses pendidikan seharusnya diorientasikan pada pembentukan kepribadian muslim yang mempunyai prophetic consciousness, di mana ia mempunyai kesadaran eksistensialis yang teistik, bahwa ia harus mempunyai kesadaran vertikal (vertical consciousness) sekaligus horisontal (horizontal consciousness). Kesadaran pertama mempunyai makna bahwa setiap individu harus sadar tentang relasi antara dirinya sebagai makhluq dan khaliq-Nya sehingga ia menyadari kewajiban yang harus dipenuhi sebagai ‘abid. Sedangkan kesadaran kedua mempunyai pengertian bahwa individu harus sadar terhadap konteks realitas sosial yang ada di sekitarnya yang selalu berubah dan penuh tantangan. Dengan kesadaran ini ia hendaknya aktif memberikan kontribusi terhadap penyelesaian problem sosial, bukan lari dari masalah. Kedua kesadaran tersebut bukan berdiri sendiri-sendiri, namun terkait secara padu.[17]
Momen lain yang juga perlu dicermati dari sejarah pendidikan Islam adalah ketika peradaban Islam mengalami masa kejayaan (golden ages) yang antara lain ditandai oleh semaraknya berbagai temuan dalam bidang ilmu pengetahuan,[18] baik yang termasuk kategori al-‘ulum al-naqliyyah maupun al-‘ulum al-‘aqliyyah.[19] Periode ini terjadi ketika peradaban Islam berada di bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, khususnya masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun, dan Bani Umayah di Andalusia.[20] Ketika itu khalifah turun tangan langsung menggerakkan berbagai kajian ilmu, yang tidak terbatas pada ilmu-ilmu ‘agama’ saja namun juga ilmu-ilmu ‘non-keagamaan’. Di tangan kedua khalifah tersebut (Bani Abbasiyah) kemajuan ilmu pengetahuan mendapatkan momentumnya. Banyak upaya dilakukan oleh khalifah untuk menggairahkan kajian ilmu pengetahuan, misalnya melakukan kontak dengan kerajaan lain yang kaya akan tradisi intelektualnya, misalnya dari tradisi keilmuan Yunani, Persia, China, dan India.
Dinamika dan gairah keilmuan ini paling tidak didorong oleh dua motivasi. Pertama, motivasi normatif, yakni semangat ajaran Islam, baik yang terkandung dalam al-Qur’an[21] maupun al-Hadis,[22] yang sangat mendorong umatnya untuk menuntut dan menguasai ilmu. Kedua, motivasi dan respon sejarah, bahwa umat Islam harus mampu membumikan ajaran Islam sehingga ia benar-benar dapat menjadi rahmat bagi seluruh alam. Untuk itu, satu-satunya jalan adalah harus terlibat dalam percaturan ilmu dan merespon tantangan realitas. Hal ini terbukti dengan banyaknya ilmuwan muslim yang mengadakan kajian intensif dalam pengembangan ilmu yang ketika itu dipusatkan di Baghdad.[23] Di antara tokoh yang terlibat aktif di pusat ilmu tersebut adalah al-Kindi, al-Razi, dan al-Farabi.[24] Mereka datang dari berbagai penjuru, misalnya Khwaraizm, Nishapur, Tus, Samarqand, Kufah, dan Shiraz.[25] Di pusat keilmuan inilah mereka mendialogkan temuan-temuannya, sebagaimana Muhammad al-Khawarizmi yang mendialogkan temuan angka nolnya dengan ilmuwan lain di Baghdad. Yang perlu dicermati juga adalah bahwa dialog keilmuan tidak terbatas antar ilmuwan muslim saja, namun juga dengan ilmuwan non-muslim. Tidak mengherankan jika dilihat dari sanad keilmuan (intellectual genealogy) banyak guru ilmuwan muslim yang beragama Kristen, Yahudi bahkan Majusi.[26] Karena itu, belajar terhadap peradaban lain tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang ‘haram’ dilakukan, namun justru dianjurkan.[27] Tidak heran jika masyarakat pada era ini dijuluki sebagai masyarakat pembelajar (learning society), yakni hampir semua anggota masyarakat tergerak untuk terlibat dalam pengembangan ilmu.
Yang menarik untuk dicermati, sebagaimana pernah dikaji oleh sejarawan Barat maupun muslim, bahwa ilmu pengetahuan dan ilmuwan yang lahir pada periode keemasan itu bukan merupakan produk ‘lembaga pendidikan formal’ sebagaimana yang dikenal pada periode modern. Ilmu pengetahuan, baik yang tergolong ‘ilmu-ilmu agama’ maupun ilmu sains muncul sebagai hasil kajian intensif ilmuwan muslim secara individual atau paling tidak melalui dialog keilmuan yang diselenggarakan di rumah-rumah ilmuwan itu sendiri. Yang lebih menonjol adalah semangat individual studies. Justru ketika lembaga pendidikan formal muncul seperti madrasah, dinamika keilmuan Islam mulai redup seiring dengan saratnya muatan politik dalam pendirian sebuah lembaga pendidikan (bandingkan dengan realitas pendidikan modern dalam konteks politik pendidikan!). Madrasah lebih dijadikan sebagai media untuk melanggengkan kekuasaan, atau paling tidak memperkuat paham ortodoksi sebagaimana yang dianut oleh penguasa.[28] Karena itu, hampir dapat dipastikan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya sains bukan lahir dari lembaga pendidikan madrasah.[29]
Kemajuan sains yang dicapai oleh orang Islam tersebut pada dasarnya disebabkan oleh banyak faktor baik yang bersifat internal maupun eksternal. Pertama, adanya semangat normatif orang Islam yang terinspirasi dari ajaran al-Qur’an[30] dan al-Hadis[31] tentang konsep ilmu dan pengembangannya. Dalam dua rujukan pokok Islam tersebut banyak ditemukan ajaran yang berkaitan dengan konsep ilmu dan keutamaan menuntutnya. Menurut Nasr, ilmu pengetahuan dalam Islam bersifat hirarkhis dan terpadu yang puncaknya adalah Allah itu sendiri sebagai pemilik ilmu pengetahuan.[32] Semua ilmu diperlukan untuk lebih mengenal dan mendekatkan diri seorang muslim dengan-Nya. Kedua, adanya dukungan penuh dari khalifah dalam pengembangan ilmu pengetahuan meskipun harus diakui bahwa tidak semua khalifah concern terhadap persoalan ilmu pengetahuan. Dalam beberapa hal, khalifah bahkan tampil bukan sekedar sebagai fasilitator tetapi sebagai inisiator ilmu. Sebagai contoh, berdirinya lembaga Baitul Hikmah dengan berbagai kegiatan di dalamnya merupakan bukti kepedulian khalifah al-Makmun dalam memberikan mediasi kajian keilmuan.[33] Selain itu, banyaknya majelis al-mujadalah juga sebagai cermin besarnya perhatian penguasa Islam terhadap ilmu pengetahuan.[34]
Adanya sikap ilmiah yang terbuka, obyektif dan kritis dari ilmuwan muslim merupakan pendorong lain terjadinya kemajuan ilmu pengetahuan. Rahman menyebut hal ini sebagai pemikiran filosofis dari ilmuwan muslim.[35] Tanpa sikap tersebut, tidak ada kegiatan riset dan kajian tentang ilmu pengetahuan, sebab pendorong utama berkembangnya ilmu adalah adanya kegelisahan akademik (sense of curiosity) dalam diri ilmuwan dalam mencermati setiap persoalan.[36] Harus diakui bahwa berkembangnya teologi Mu’tazilah pada periode Abbasiyah mempunyai peran dalam perkembangan rasionalitas ini.[37] Dibandingkan dengan aliran teologi lain dalam Islam, aliran Mu’tazilah dikenal sebagai aliran teologi yang paling rasional. Aliran ini sangat mendukung perkembangan keilmuan dalam Islam, sebab gejala berpikir kritis di kalangan umat Islam terbukti semakin redup seiring dengan hilangnya aliran ini dalam dunia Islam.[38] Akhirnya, luasnya daerah kekuasaan Islam juga mempengaruhi berkembangnya ilmu pengetahuan. Pada periode Islam klasik, kekuasaan Islam terbentang dari wilayah Barat, yakni Andalusia, Afrika, sampai wilayah Timur, seperti Asia Tengah dan Timur Tengah.[39] Banyak wilayah tersebut yang mempunyai tradisi intelektual dan peradaban yang tinggi dan cukup tua, misalnya di Baghdad,[40] Ray, Damaskus, Isfahan, Kairo, Aleppo, Khairawan, Fez, Cordova, Alexandria, Edessa, Beirut, Jundishapur, Nisibis, Antioch, dan Harran.[41]

E. Menuju Pendidikan Islam Transformatif
Beberapa uraian di atas paling tidak dapat dijadikan sebagai bahan kajian selanjutnya bahwa pendidikan dalam Islam harus bersifat dinamis, ia merupakan upaya yang dilakukan secara sadar untuk melakukan perubahan pada diri individu dan merombak tatanan masyarakat yang menyimpang. Karena itu, gagasan untuk merubah pola pendidikan konvensional menuju bentuk baru yang transformatif harus dilakukan secara serius. Istilah pendidikan Islam konvensional (PIK) dipakai untuk menunjukkan pola dan praktek pendidikan yang berjalan secara monoton, top-down, guruisme, sentralistik, uniform, eksklusif, formalis, alienated dan indoktrinatif. Praktek pendidikan tersebut dianggap tidak mampu menjawab tantangan zaman dan terkesan menjadikan pendidikan Islam anti realitas. Bahkan, ada anggapan bahwa pola semacam inilah yang menjadikan dan membentuk perilaku masyarakat Islam eksklusif dan gagap terhadap perubahan dan perbedaan. Karena itu, pendidikan Islam transformatif (PIT), sebuah istilah tentatif sebagai counternarrative dari PIK, perlu dimunculkan sebagai pembanding dan teman dialog untuk ‘menghidupkan dan membumikan’ pendidikan Islam dalam konteks hereness dan nowness. Istilah transformasi itu sendiri seringkali dimunculkan oleh Lyotard ketika membahas wacana posmodernisme sebagai lawan dari modernisme. Posmodernisme merupakan kondisi budaya yang memunculkan banyak transformasi yang mengubah rule of the game dalam bidang sains, sastra, dan seni. Di bidang pendidikan, transformasi berupa perubahan aturan main dalam hal konsep, praktek, dan institusi pendidikan yang bertanggung jawab dalam mentransmisikan ilmu pengetahuan dan seni.[42] Dengan menggunakan kerangka semacam ini, bagaimana pola pendidikan Islam mampu melakukan transformasi dari praktek pendidikan yang telah ada menuju kondisi yang lebih baik, mulai dari aspek konseptualisasi hingga implementasi, seperti kelembagaan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan penyediaan SDM.
PIT mengharuskan adanya perubahan cara pandang terhadap proses pendidikan dalam banyak faktor yang terkait dengan pendidikan, seperti orientasi, peserta didik, pendidikan, kurikulum, strategi, evaluasi, lingkungan, dan sumber belajar. Dalam hal tujuan, pendidikan harus diorientasikan untuk mencetak individu yang berkesadaran kenabian, yang mempunyai misi liberatif terhadap berbagai persoalan sosial. Pendidikan dianggap berhasil jika mampu mencetak individu yang kritis terhadap persoalan lingkungan dengan spiritualitas Islam. Untuk menghasilkan pribadi yang semacam itu, berbagai elemen pendidikan perlu ditinjau ulang. Kurikulum harus selalu dikaitkan dengan current issues di masyarakat sehingga dapat memberikan bekal pengetahuan dan pengalaman kepada peserta didik tentang problem riil tersebut. Strategi pembelajaran harus diorientasikan untuk menghargai dan mengoptimalkan setiap potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, evaluasi pendidikan harus lebih berpijak pada potensi kemanusiaan peserta didik, bukan uniform yang dipaksakan oleh pendidik. Dalam hal pengelolaan, pengelola lembaga pendidikan harus mampu menggerakkan dan mengaktifkan setiap potensi yang ada di sekitarnya untuk ikut memikirkan persoalan pendidikan. Akhirnya, pendidikan tidak harus dimaknai sebagai proses yang berlangsung di ruang kelas saja, namun juga terjadi di luar kelas. Karena itu, upaya mensinergikan antara unit keluarga, sekolah, dan masyarakat perlu dilakukan.

F. Agenda Aksi
Muhammad Iqbal, yang kemudian diamini oleh Fazlur Rahman, dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam mengatakan bahwa al-Qur’an lebih menekankan pada tindakan (deed) ketimbang kata (idea).[43] Sebaik apapun konsep jika tidak disertai dan dibarengi dengan upaya konkret hanya ibarat sampah saja. Meminjam statemen Musa Asy’arie, Bangsa Indonesia ini terpuruk dalam krisis berkepanjangan hanya karena terlalu banyak konsep yang bertumpuk-tumpuk tapi miskin implementasi. Karena itu, dialektika konteks teoritis dengan konteks realitas harus selalu dilakukan dalam upaya mengubah paradigma pendidikan Islam dari konvensional menuju transformatif. Upaya kodifikasi konteks realitas empirik ke dalam realitas teoritik mutlak diperlukan. Tanpa hal tersebut, pendidikan Islam hanya ibarat gundukan konsep yang tak bermakna, sebab kebermaknaan sesuatu sangat ditentukan dan tergantung pada eksistensinya bagi dunia empirik.
Berdasarkan pemikiran tersebut, banyak hal yang harus segera dicermati, dikritisi dan dicarikan solusinya bagi praktek pendidikan Islam, mulai dari dataran konseptual hingga praksis. Berikut ini adalah beberapa hal perlu menjadi perhatian:
1. Perlu melakukan pemaknaan kembali tentang hakikat peserta didik. Peserta didik tidak harus dimaknai atau identik dengan anak usia sekolah dengan usia kronologis tertentu, sebab hal ini tidak sesuai dengan pandangan Islam yang menempatkan setiap individu muslim sebagai manusia pembelajar, mulai dari ayunan hingga meninggal dunia. Dengan pengertian ini, life-long education justru ditekankan. Implikasi lain dari pengertian tersebut adalah pandangan Islam sangat relevan terhadap paradigma baru pendidikan yang menempatkan murid dan guru sebagai obyek dan subyek sekaligus. Hal ini mengimplikasikan bahwa keduanya sama-sama sebagai makhluk pembelajar (learner). Arti penting lain dari pemaknaan kembali peserta didik adalah bahwa fokus utama proses pendidikan adalah untuk dan demi kepentingan peserta didik itu sendiri. Karena itu, cara pandang secara holistik terhadap potensi dan sosok peserta didik mutlak diperlukan, sebab dari sinilah treatment pendidikan akan dilakukan. Pandangan tentang peserta didik akan menentukan bentuk kurikulum, evaluasi, dan metode pembelajaran. Karena itu, makna peserta didik harus didekati dari banyak perspektif.
2. Pemaknaan kembali tentang hakikat pendidikan yang digunakan sebagai upaya transformasi bagi peserta didik dan masyarakat, bahkan dunia.
3. Perlu melakukan pemaknaan kembali terhadap perspektif Islam dalam memandang manusia dan pendidikan seperti yang terkandung dalam nash dan historisitas Islam. Sosok ideal yang perlu dilihat adalah Nabi Muhammad sebagai pembebas.
4. Praktek pendidikan sangat terkait dengan ruang dan waktu. Karena itu, kajian secara kritis tentang konteks realitas tempat pendidikan tersebut dipraktekkan mutlak dilakukan, sebab proses pendidikan pada dasarnya merupakan upaya mempersiapkan peserta didik sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Karena itu, dalam perspektif Islam, akan banyak model pendidikan di dunia Islam karena adanya perbedaan kondisi lokal masyarakat, meskipun sama-sama dengan spiritualitas Islam. Praktek pendidikan akan mengalami kegagalan jika tidak ada kesadaran akan kondisi lokal, baik secara sosiologis, historis, maupun antropologis.
5. Berpijak pada pemahaman poin-poin tersebut di atas, maka peninjauan terhadap semua faktor yang ada dalam pendidikan dilakukan, baik dari segi tujuan, pendidik, kurikulum, strategi pembelajaran, evaluasi, sumber belajar, dan lingkungan. Dalam hal orientasi, pendidikan Islam harus diarahkan sebagai upaya optimalisasi potensi kemanusiaan yang bertolak dari spiritualitas Islam dan mempertimbangkan kondisi lokalitasnya. Pendidik harus ditempatkan sebagai manusia pembelajar yang sama kedudukannya dengan peserta didik, sehingga terjadi proses dialog yang sejajar, meskipun boleh jadi secara keilmuan banyak yang telah dikuasai oleh pendidik. Pendidik dalam Islam justru diharapkan dapat dijadikan sebagai model dalam berperilaku bagi siswa sehingga ia tidak sekedar mengemban fungsi penyampai ilmu, tapi juga nilai. Kurikulum yang dikembangkan harus tetap mengacu pada upaya pemberian pengalaman dan pengetahuan kepada peserta didik agar potensi kemanusiaannya optimal. Selain itu, kurikulum yang dikembangkan harus mempertimbangkan kondisi kontekstual tempat pendidikan berlangsung, sehingga materi yang diberikan tidak ahistoris, anti-realitas, dan teralienasi dari konteks. Strategi pembelajaran yang dipraktekkan pun juga harus melihat sosok peserta didik yang unik dengan berbagai potensi yang dimiliki sehingga penerapan sebuah strategi bergantung pada kondisi peserta didik dan lingkungan yang dihadapi. Sementara itu, evaluasi yang dilakukan harus mengacu pada upaya mengetahui sejauhmana praktek pendidikan telah memanusiakan peserta didik dan berhasil mengoptimalkan potensinya. Karena itu, upaya penciptaan lingkungan yang kondusif harus dilakukan. Hal ini harus ditempuh secara sinergis, baik antara pengelola lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Yang jelas, dalam perumusan konsep pendidikan, pengelola pendidikan formal harus mendengar stakeholder pendidikannya.
Akhirnya, untuk menutup diskusi tentang pendidikan Islam transformatif ini di bawah dikemukakan di antara pesan Iqbal dalam syairnya:

Mengapa bertanya siapa aku dan dari mana?
Di laut ini aku ombak yang selalu mendebur
Menggerakkan diri dan karena itu aku hidup
Jika aku berhenti, akan berhenti pula menjadi[44]

Gelisah tak henti-henti adalah kehidupan bagi kami
Seperti ikan kami harus tetap bergerak
Dan menyinari pantai, sebab sejenak saja beriak
Lalu berhenti merupakan bahaya[45]

Pantai tak bergerak berkata, “Walau aku lama di sini
Aku belum mengenal pribadiku.”
Ombak yang selalu bergolak mendebur dan berkata,
“Bagiku beriak adalah menjadi, diam terbaring belum menjadi.”[46]

[1] Gagasan Mastuhu ini dapat dilihat dalam Mastuhu, “Pendidikan Islam di Indonesia Masih Berkutat pada Nalar Islami Klasik” dalam Tashfirul Afkar Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, No. 11 Tahun 2001: 77-83.
[2] Keprihatinan terhadap praktek pendidikan, khususnya pendidikan agama, belakangan banyak disorot oleh berbagai kalangan karena dianggap tidak mampu memberikan nilai, etika, dan moral bagi peserta didik. Bahkan, pendidikan agama seringkali menjadi alat politik atau kepentingan kelompok tertentu. Untuk menyebut beberapa nama yang ­concern terhadap hal ini adalah Musa Asy'arie, Haidar Baqir, Frans Magnis Suseno, dan Azyumardi Azra.
[3] Di antara tulisan yang mencoba menitikberatkan pada pencarian format baru pendidikan Islam adalah artikel penulis dalam Jurnal Ta’dib dengan judul “Mencari Format Baru Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural”, Vol. IV No. 02, September 2001: 89-113 dan “Shifting Paradigm Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural” dalam M. Amin Abdullah dkk., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga dan KLS, 2002), 345-374.
[4] Banyak alasan kenapa banyak orang memilih Jawa sebagai tempat tinggal atau tempat mengadu nasib. Harus diakui, hal ini pada dasarnya merupakan dampak kebijakan pemerintah Orde Baru yang sentralistis, di mana pemerintah pusat mengeruk sebanyak mungkin pendapatan asli daerah untuk kepentingan pusat (Jakarta), sementara return benefit bagi daerah sangat minim, untuk tidak mengatakan tidak ada. Konsekuensinya, peredaran uang terbesar berada di Jakarta, khususnya, dan Jawa, umumnya, yang notabene dekat dengan kekuasaan. Tidak heran jika banyak orang berbondong-bondong ke Jawa untuk mengadu nasib. Situasi ini tentu akan berubah seiring dengan adanya perubahan paradigma pengelolaan negara dari sentralisasi ke desentralisasi, yang antara lain ditandai oleh keluarnya UU tentang Otonomi Daerah.
[5] Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia ini diperparah lagi dengan tingginya harga buku yang tidak terjangkau oleh kalangan masyarakat menengah ke bawah, seiring dengan terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan.
[6] Sulitnya peserta didik di Indonesia untuk menggunakan penalaran ini antara lain dipengaruhi oleh sistem pembelajaran yang dilakukan di lembaga pendidikan, baik sekolah maupun madrasah, yang cenderung monoton, guruisme, text-book-centered, dan berkembangnya budaya "minta petunjuk" (Ingat perkataan menteri Orba: "Menurut Petunjuk Bapak Presiden".
[7] Dengan menggunakan perspektif Bloom dalam hal klasifikasi ranah, yakni kognitif, afektif, dan psiko-motorik, anak-anak di Indonesia hanya dibiasakan pada ranah pertama, sementara ranah kedua dan ketiga kurang ditekankan. Lebih jauh, dari ranah kognitif pun, anak-anak lebih dibiasakan pada level rendah, seperti mengetahui atau memahami, kurang ditekankan pada level analisa atau evaluasi.
[8] Bandingkan perbandingan jumlah tenaga kependidikan bergelar doktor dengan jumlah penduduk antara di Indonesia dengan negara lain, di mana hanya ada 65 orang per satu juta penduduk di Indonesia, sementara Amerika Serikat dan Jepang ada 6.000 orang per satu juta penduduk.
[9] Ada harapan besar, meskipun belum saepenuhnya dapat diharapkan, tentang akan adanya perubahan anggaran "besar-besaran" pasca diundangkannya UU Sisdiknas tahun 2003, di mana dalam salah satu pasalnya menyebutkan anggaran untuk pendidikan 20%. Hanya saja, agaknya cukup ironis jika hal ini dikaitkan dengan "swastanisasi" PTN yang menjadikan biaya pendidikan di PTN membengkak. Akibat dari kebijakan ini, antara lain, banyak calon pemimpin bangsa masa depan yang tidak dapat melanjutkan ke pendidikan tinggi hanya karena tidak mampu secara ekonomi.
[10] Fazlur Rahman, "The Qur'anic Solution of Pakistan's Educational Problems," dalam Islamic Studies 6, No. 4 (December 1967), 317.
[11] Ingat kritik yang dilontarkan oleh beberapa pemikir pendidikan kontemporer, seperti Neil Postman dengan The End of Education-nya, Ivan Ilich dengan Deschooling Society-nya, dan Paulo Freire dengan Paedagogy of the Oppressed-nya. Mereka mengkritik tajam tentang praktek pendidikan di sekolah yang justru tidak memanusiakan peserta didik, membelenggu, dan mematikan potensi.
[12] Gagasan Howard Gardner, yang kemudian didukung oleh para koleganya, seperti Thomas Armstrong, tentang multiple intelligence [kecerdasan majemuk] merupakan cermin adanya perubahan paradigma secara radikal tentang teori kecerdasan yang selama ini dipahami. Menurut Gardner, kecerdasan manusia tidak hanya tunggal, tapi banyak. Paling tidak dia mensinyalir adanya sembilan jenis kecerdasan, yakni kecerdasan linguistik, matematis-logis, spasial, musikal, kinestetis-jasmani, interpersonal, intrapersonal, natural, dan eksistensial. Hal ini menggugurkan teori IQ yang digagas oleh Alfred Binet. Lihat, antara lain dalam, Thomas Armstrong, Kecerdasan Majemuk, terj. Kaifa (Bandung: Kaifa, 2003).
[13] Lihat Muqowim, “Sistem Belajar Cepat dan Efektif” dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, Vol. 40, No. 1, January-June 2002: 237-254.
[14] Terma ini sering digunakan untuk memaknai periode sejarah Arab pra-Islam. Sebenatnya, istilah tersebut tidak bisa dimaknai sebagai ‘zaman kebodohan’ atau ‘kebodohan’ yang dilawankan dengan kepandaian. Namun, ia lebih berarti sebagai masa dimana banyak praktek barbarian, perilaku buas, kesombongan suku, kultus/tradisi balas dendam perilaku pagan dilakukan oleh orang Arab. Lihat Duncan B. Macdonald, Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, (New York: Charles Scribner’s Sons, 1903), 8; Ignaz Goldziher, Mohammedanische Studien, Halle: 1971, 223; dan Munir-ud-Din Ahmed, Muslim Education and the Scholars’ Social Status, (Zurich: Verlag ‘Der Islam’, 1965), 25.
[15] Dua misi besar kenabian ini antara lain dapat dilihat dalam Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), 29; lihat juga Muqowim, “Kenabian dalam al-Qur’an,” dalam Jurnal Dakwah, No. 3 Tahun II, Juli-Desember 2001: 113-129.
[16] Gambaran tentang figur Nabi yang membawa semangat pembebasan ini diulas secara agak panjang lebar oleh Engineer. Selanjutnya lihat, Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, cet. II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 41-56.
[17] Iqbal, seorang penyair dan filosof asal Indo-Pakistan, membagi kesadaran menjadi dua, yakni kesadaran kenabian dan kesadaran mistik. Lebih jauh ia menggambarkan kedua kesadaran tersebut dalam salah satu syairnya, bahwa orang yang mempunyai kesadaran kenabian ditandai oleh keterlibatannya secara aktif dalam realitas alam semesta. Cakrawala berada dalam genggamannya. Sementara itu, orang yang mempunyai kesadaran mistik ditandai dengan larutnya ia dalam cakrawala, ia cenderung lari dan mengasingkan diri dari problem realitas untuk mengejar kesalehan individual.
[18] Sebuah kajian cukup mendalam dilakukan oleh Fazlur Rahman tentang dinamika intelektual Islam sejak periode Islam awal hingga kurun modern. Selanjutnya, lihat Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982).
[19] Karya yang banyak mengungkap tradisi keilmuan Islam pada era ini antara lain A.S. Tritton, Materials on Muslim Education in the Middle Ages, (London: Luzac, 1957); C. Michael Stanton, Higher Learning in Islam: The Classical Ages A.D. 700-1300, (New York: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 1991); Ahmad Shalaby, History of Muslim Education, (Beirut: Dar al-Rashshaf, 1954); Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982); George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981); dan S.H. Nasr, Science and Civilization in Islam, (New York: New American Library, 1968).
[20] Lihat Philip K. Hitty, History of the Arabs, (London: Macmillan, 1974), 297-316.
[21] Di antara ayat al-Qur’an yang mendorong umat Islam untuk mencari ilmu adalah Q.S. al-‘Alaq (96): 1-5; Q.S. al-Mujadalah (58): 11; Q.S. al-Tawbah (9): 122; Q.S. al-Nahl (16): 43; Q.S. al-Zumar (39): 9; dan Q.S. Taha (20): 114.
[22] Banyak di antara matan Hadis yang menyebutkan tentang perlunya mempunyai dan mencari ilmu, misalnya “carilah ilmu walau sampai ke negeri China,” “menuntut ilmu diwajibkan bagi orang muslim laki-laki (dan perempuan), dan sebagainya.
[23] Ibrahim Madkour, “Al-Farabi,” dalam M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, Vol. I (Delhi: Low Price Publications, 1961), 451.
[24] Ulasan secara panjang lebar tentang ilmuwan muslim ditulis oleh banyak pemikir Islam modern. Lihat karya M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy, Vol. I (Delhi: Low Price Publications, 1961) yang terdiri dari dua volume. Hal yang sama juga dilakukan oleh Seyyed Hossein Nasr (ed.), History of Islamic Philosophy (London & New York: Routledge, 1996) yang juga terdiri dari dua volume.
[25] Bulliet pernah melakukan kajian khusus tentang dinamika keilmuan di wilayah kekuasaan Islam, khususnya di daerah Nishapur. Lihat Bulliet, Richard W., The Patricians of Nishapur: A Study in Medieval Islamic Social History, (Cambridge, 1972).
[26] Hal ini tampak dari sinyalemen yang dikemukakan oleh Bernard Lewis, seorang ilmuwan Barat yang menekuni sejarah peradaban Islam. Lihat Bernard Lewis, The Jews of Islam (Princeton: Princeton University Press, 1987), 3-4; lebih jauh lihat Muqowim, ”Mencari Format Baru Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural,” dalam Jurnal Ta’dib, Vol. IV No. 02, September 2001: 89-113.
[27] Hal ini tampak dari upaya khalifah al-Makmun yang mempekerjakan tokoh-tokoh non-Islam untuk memimpin proyek penerjemahan dari tradisi keilmuan Yunani ke Islam (bahasa Arab). Tokoh Hunain bin Ishaq, Thabit bin Qurrah, dan Ishaq bin Hunain adalah di antara ilmuwan non-muslim yang terlibat sangat intens dalam program ini. Selanjutnya baca Philip K. Hitty, History, 297-316.
[28] Selanjutnya baca George Makdisi, The Rise of Colleges, 9-15; The Rise of Humanism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990); Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, ix.
[29] Fazlur Rahman, Islam, khususnya “Bagian Pendidikan” terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1994), 263-281.
[30] Untuk menyebut beberapa ayat yang berkaitan dengan ilmu adalah Q.S. al-Baqarah (2): 30-33; Q.S. al-‘Alaq (96): 1-5; dan Q.S. al-Mujadalah (58): 11.
[31] Dalam al-Hadis banyak ditemukan anjuran kepada umat Islam untuk menuntut ilmu, misalnya “Menuntut ilmu diwajibkan bagi orang Islam laki-laki [dan perempuan]”; Imam Jamaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Sayuti, al-Jami’ al-Saghir fi Ahadith al-Bashir al-Nadhir, (kairo: Dar al-Katib al-‘Arabi, 1967), 194; dan “Orang-orang yang menyembunyikan ilmu akan dilaknat oleh semua makhluk, termasuk ikan di laut dan burung di langit” Al-Saiyid Ahmad al-Hashimi Bek, Mukhtar al-Ahadith al-Nabawiyyah, (Qahirah: Matba’ al-Hijazi, 1948), 128..
[32] S.H. Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 21-40.
[33] Lihat Philip K. Hitty, History, 310.
[34] Maraknya kajian dan perdebatan ilmu ini dapat dilihat dari laporan yang dibuat oleh al-Baghdadi pada abad ke-11. Lihat Al-Khatib al-Baghdady, Tarikh Baghdad, 14 vol. (Mesir: Maktabah al-Khandji, 1931). Lihat juga Munir-ud-Din Ahmed, Muslim Education and the Scholars’ Social Status, (Zurich: Verlag ‘Der Islam’, 1965), 52-85.
[35] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 157-158. Lihat juga M. Amin Abdullah, “Kajian Ilmu Kalam,” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (ed.), Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Ditbinperta, 2000), 223.
[36] Iqbal menyebut kegelisahan intelektual ini sebagai the principle of movement sebagai inti dinamika Islam. Prinsip tersebut sama dengan konsep ijtihad yang intinya optimalisasi fungsi akal untuk berpikir dan memecahkan persoalan dengan perspektif Islam secara maksimal. Lihat M. Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1965), khususnya pada Bab “The Principle of Movement.”.
[37] Muktazilah didirikan oleh Wasil bin Ato’ pada tahun. Harun al-Rasyid dan al-Makmun, yang pada periode ini ilmu pengetahuan mencapai masa keemasan, termasuk di antara pendukung aliran teologi Muktazilah. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspeknya, 40.
[38] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, xiii.
[39] Philip K. Hitty, History, 298.
[40] Sayang sekali, banyak peninggalan bersejarah di Baghdad belakangan hancur akibat perang antara Amerika dan sekutunya dengan Irak.
[41] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam, 15. Lihat juga Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, terj. Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 126.
[42] Untuk selanjutnya, lihat tulisan Michael Peters dan Colin Lankshear, “Postmodern Counternarratives” dalam Henry Giroux, et al., Counternarratives Cultural Studies and Critical Pedagogies in Postmodern Spaces (New York & London: Routledge, 1996), 9.
[43] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), v.
[44] Muhammad Iqbal, Payam-I-Mashriq (Pesan dari Timur), terj. Abdul Hadi WM (Bandung: Pustaka, 1985), 17.
[45] Ibid., 22.
[46] Ibid., 81.

Tidak ada komentar: